by
Jusmalia Oktaviani
.
“White, kamu tidak apa-apa? White! White!”
Suara Nathan yang memanggil-manggil namanya menggema di telinga Snow White. Tapi Snow tak mampu membalas meski hanya dengan satu kata. Lehernya terasa tercekik. Racun dari apel yang dimakannya menjalar cepat, dan Snow merasakan panas yang merambati leher dan paru-parunya, bagaikan api yang tersiram bensin. Snow merasakan paru-parunya lumpuh. Ia tak mampu lagi mengambil nafas. Tanpa oksigen yang mengaliri otaknya, gelap segera menyelubungi Snow.
*
Sebelum memakan apel beracun itu, Snow sebenarnya sudah tahu bahwa ia pasti akan celaka. Lebih tepatnya, ibu tirinya akan melakukan apa saja untuk mencelakainya. Semua hanya menunggu waktu, Snow pernah berkata pada Nathan.
Nathan mengguncang-guncangkan tubuh gadis itu. Masih berusaha memanggil nama Snow White, seakan gadis itu akan terbangun dari kematian. Tapi tidak kali ini.
“Sudahlah, Nak.” Tangan kecil kepala keluarga Logan menyentuh tangan pria itu, mengingatkan bahwa yang dilakukan Nathan sia-sia. Snow White takkan kembali.
Nathan memandang keluarga Logan, sang kepala keluarga, istrinya, dan lima anak mereka yang kesemuanya bertubuh mungil karena menderita dwarfisme. Meski fisik mereka tak seperti manusia normal, namun keberanian dan hati yang mereka punya jauh lebih besar dari siapapun. Mereka mau menampung Snow White, meski mereka tahu, ibu tiri Snow, Rowena, bisa dengan mudah mencelakakan mereka. Mereka sendiri mengasingkan diri ke hutan terpencil ini karena tahu bagaimana rasanya diperlakukan semena-mena oleh lingkungan bahkan keluarga yang mereka cintai, hanya karena mereka ‘berbeda’. Dan melihat Snow yang kini bernasib serupa, dimusuhi oleh ibu tirinya sendiri, membuat keluarga Logan memilih menampung dan menyelamatkan Snow.
Dibantu Nathan, keluarga Logan meletakkan tubuh Snow di atas meja. Tubuhnya membujur kaku. William Logan, sang kepala keluarga, merapikan tangan gadis itu di atas dada. Air mata mengalir di pipinya. Meski baru beberapa waktu bersama keluarga Logan, William mencintai Snow White, layaknya anak kandungnya.
“Ia selalu di hati kami,” Jean Logan, sang istri, meletakkan karangan bunga di tubuh Snow White. “Dan ia akan selalu jadi bagian dari keluarga ini.” Nathan tersadar, ia tak sendiri dalam merasakan kesedihan. Keluarga ini juga sama berdukanya untuk gadis yang disayanginya itu. Semenjak mereka menemukan Snow tersungkur di hutan dekat pondok mereka, keluarga Logan sudah menyayangi Snow.
Satu per satu, anak-anak Logan juga memberikan penghormatan terakhir pada Snow. Kemudian mereka meninggalkan Nathan dalam ruangan itu, menyengajakan Nathan berdua bersama Snow White untuk terakhir kali.
“White…White…” Nathan mengangkat setengah tubuh Snow White, membawa raga gadis itu dalam pelukan Nathan. Nathan mendekatkan wajah Snow padanya. Ia ingin memberikan ciuman pertama sekaligus terakhirnya pada gadis itu. Sementara itu, tanpa Nathan inginkan, memori-memori Nathan bersilangan, teringat akan kejadian-kejadian yang membawa Snow White di penghujung hidupnya kini.
*
Nathan teringat pada sosok Snow White yang baru saja mengabarinya sebuah berita mengejutkan. Mereka berada di padang rumput belakang rumah megah keluarga White. Sinar matahari pagi menghangatkan dua bocah berumur sepuluh tahun itu. Keduanya duduk bersantai di atas rumput sambil mengawasi hamparan pertanian luas yang merupakan milik ayah White. Ayah Snow, Carl White, memang pengusaha yang berhasil, dengan berpetak-petak tanah pertanian yang luas, beberapa kepemilikan properti, dan kini, ayah White sedang berusaha meraih tampuk kepemimpinan Walikota di daerah ini.
“Coba tebak?” Pipinya bersemu kemerahan dan senyumnya terkembang. White tampak bahagia. “Aku akan punya ibu, Nathan.” Ibu kandung White memang sudah lama wafat karena sakit.
“Maksudmu, ayahmu akan menikah lagi, White?” Nathan terkejut. Meski akrab, Nathan telah terbiasa memanggil Snow dengan nama belakangnya, atau ayah dan ibunya akan memarahinya. Orangtua Nathan adalah pegawai Carl White. Jadi, bagi keluarga Nathan, keluarga White seperti majikan mereka yang harus dihormati.
“Ya, bulan depan, mungkin.”
“Kamu tidak takut?”
“Takut apanya?”
“Kamu akan punya ibu tiri, dan seperti cerita dalam Cinderella, ibu tiri biasanya jahat.” Nathan memasang tampang menakutkan, yang disambut tawa geli gadis itu.
“Rowena tidak punya anak. Jadi, aku tak punya dua saudari tiri yang menakutkan. Lagipula, Rowena kelihatannya baik. Dia juga cantik.” White berkata. Ia sama sekali tak khawatir. ”Dan, selama ada ayahku, semua akan baik-baik saja, kan?
Nathan hanya menggumam, “Yeah.”
Kemudian keduanya kembali diam membiarkan mentari menghangatkan. Suasana begitu tenang dan damai. Namun semua itu tak berlangsung lama. Mereka tak sadar bahwa kehadiran ibu tiri itulah yang akan mengubah hidup Snow White selamanya.
*
“Sudah kau awasi anak itu?” Rowena mendelik pada pelayan setianya, Dante. Lelaki yang ditanya itu mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia memang bukan tipe yang banyak bicara, kecuali ditanya. Dante bertubuh kecil, namun ia jelas mempunyai pikiran yang tajam. Ia sering dimintai nasehat oleh Rowena. Mungkin karena hanya Dante yang tahan menjadi pendengar bagi nyonya besarnya itu. Meski sebenarnya Dante tak menyukai tabiat majikannya yang licik, namun Dante tak menolak keuntungan dari yang diraih Rowena nanti jika berhasil menguasai seluruh harta keluarga White. Balasan atas kesetiaannya pada Rowena sepuluh tahun ini.
“Kita tak boleh membiarkannya sampai lolos, kamu tahu itu.”
Dante kembali mengangguk. Kalimat yang mungkin diucap oleh Rowena selama hampir enam tahun terakhir ini adalah segala hal yang berhubungan dengan Snow White, anak tirinya, yang dijaga dengan ketat dalam rumah ini. Gadis itu bagai burung yang terkurung dalam sangkar emas. Ia mendapatkan banyak hal, tapi tidak dengan kebebasannya.
“Bagaimana keadaan terakhirnya?” tanya Rowena.
“Pagi tadi dia belum berubah. Selalu berteriak dan histeris melihat saya. Dia masih ngotot, meyakini bahwa Nyonya adalah pembunuh ayahnya, dan bersumpah akan membocorkannya jika suatu saat bisa kabur dari rumah ini.” Dante menjawab.
“Oleh karena itu, dia tidak boleh sampai kabur. Karena kamu tahu, aku memang membunuh ayahnya. Sayang sekali, anak itu menyaksikan bagaimana aku memasukkan racun sedikit demi sedikit setiap hari ke minuman ayahnya, membuat ayahnya mati perlahan…” Rowena membuang pandangannya ke luar jendela, memandang ke seluruh rumah, tanah yang sebenarnya sebagian sudah jadi miliknya. Ya, hanya sebagian. Karena sebagian besar lagi, adalah milik dan atas nama Snow White, anak tirinya.
Rowena menghela nafas berat. Semenjak Snow menyaksikan kejahatannya, Rowena tak bisa melepaskan Snow. Ia pikir setelah kematian Carl, semua akan beres. Tapi nyatanya tidak. Ia baru tahu, harta Carl tak seluruhnya jatuh di tangannya, karena sebagian besar telah dialihkan Carl pada Snow, sang anak. Sementara untuk melenyapkan Snow begitu saja adalah hal yang mustahil. Ia mengetahuinya dari pengacara keluarga itu. Pertama, harta keluarga Carl akan disumbangkan jika Snow meninggal sebelum 16 tahun. Harta itu akan diserahkan pada negara karena Carl meyakini bahwa hartanya harus berguna bagi orang lain jika ternyata Snow dalam keadaan tak bisa mewarisi harta tersebut. Kedua, Snow baru benar-benar mengambil alih harta itu pada usia 16 tahun. Yang artinya, Rowena memang harus menunggu hingga gadis itu 16 tahun, yang tinggal tiga bulan lagi. Dan yang ketiga, alasan yang sebenarnya tidak penting, namun Rowena tak ingin membunuh dua anggota keluarga dalam waktu yang berdekatan berturut-turut. Dua mayat dalam satu rumah, dalam waktu yang cukup dekat. Terlalu mencurigakan. Tentu akan terlalu menyedot perhatian polisi. Ia tak mau berurusan dengan hukum, dan kematian Carl kembali diusut.
“Menurutmu aku akan jadi wanita yang paling kaya, yang paling berkuasa, Dante?”
“Ya, Nyonya, tentu bisa. Asalkan…Snow White sudah tak ada.” Dante menjawab.
Rowena mendengus. Meski ia selalu menanyakan hal itu, Dante tak pernah mengganti jawabannya. “Anak itu mungkin saat ini menjadi yang terkaya. Tapi nanti, setelah dia genap 16 tahun, aku tinggal memaksanya menyerahkan kekayaannya padaku, dengan cara apapun. Dan aku, dengan semua kekayaan ini, bisa memiliki semua, semua, yang aku mau.” Rowena terkikik geli dengan rencananya sendiri. Ia sangat tak sabar menantikan menjadi wanita terkaya dan berkuasa.
Dante kembali mengangguk sabar. Sementara mereka tak menyadari sosok lelaki muda yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka dari balik dinding.
*
Semenjak Snow dikurung Rowena, Nathan selalu mencoba mencari alasan untuk masuk ke rumah Snow White. Namun Nathan sendiri hanya pekerja di perkebunan keluarga White. Ia tak punya banyak alasan untuk masuk ke rumah itu, kecuali jika ia adalah pelayan atau sejenisnya. Pemuda itu tak pernah bisa menemui Snow secara langsung. Pasalnya gadis itu dikurung di kamar khusus lantai tiga rumah itu. Dan ia dijaga ketat. Tak ada yang boleh mendekatinya kecuali Rowena, Dante, dan orang-orang kepercayaan Rowena.
Ia hanya bisa memantau kabar Snow White dari selentingan yang ia dengar dari sekitar rumah, atau, menguping pembicaraan orang-orang sekitar.
Malam itu, Nathan gelisah. Yang ia dengar dari mulut Rowena membuatnya tak mampu memejamkan mata.
Snow White hanya punya waktu tiga bulan, pikir Nathan gelisah sambil membolak-balik badannya di tempat tidur. Usianya akan genap 16 dan harta ayahnya resmi menjadi miliknya. Setelah itu, Rowena bisa melakukan apa saja terhadap gadis itu. Karena warisan itu akan langsung teralihkan ke Rowena jika Snow tak lagi ada.
Aku harus segera menyelamatkan White. Atau aku akan menyesal, Nathan membatin.
Nathan tiba-tiba teringat pada undangan makan malam yang akan diselenggarakan di rumah White, dua minggu mendatang.
Kemudian sebuah keberanian mendadak muncul. Ia akan menculik Snow White hari itu.
*
Nathan mengendap-ngendap di sekitar rumah keluarga White. Sinar bulan sabit tampak temaram, namun cukup untuk memberi Nathan seberkas cahaya membantu penglihatannya meski tanpa senter. Lelaki itu komat-kamit berdoa. Ia menurunkan topeng kain hitam miliknya, menutupi wajah sekaligus iddentitasnya. Ia gugup. Nathan langsung merasakan hentakan adrenalin di tubuhnya. Sejauh ini ia bisa melewati rumah keluarga White hingga ke bagian dalam. Penjagaan lebih longgar dari yang ia duga sebelumnya. Sebuah stun gun ia pegang dengan kencang. Ia tak pernah benar-benar menggunakan benda ini, apalagi untuk melumpuhkan seseorang. Namun, ia memerlukan segala sumber daya yang ia miliki kini.
Nathan mengintip di balik sudut dinding. Tak ada siapa-siapa. Ia lega karena penjagaan di sekitar gedung barat, tempat Snow White terkurung, tampak lengang. Makan malam yang berlangsung di aula ruang tengah rumah itu sepertinya membuat penjaga dan pelayan fokus pada pesta kecil itu. Begitulah orang kaya, mereka punya jadwal untuk saling mengunjungi, bermabuk-mabukan, main judi, dan bersenang-senang hingga pagi. Meski begitu, Nathan tetap merasakan jantungnya berdebar begitu keras.
“Hei! Kamu siapa?” Sosok lelaki berambut gondrong berkumis tebal tiba-tiba memergoki Nathan. Nathan terkejut, dan refleks mengayunkan tangannya yang memegang stun gun ke leher pria itu tanpa aba-aba apapun. Pria itu kaget, dan seketika pingsan.
Takjub dengan yang ia lakukan, Nathan maju melangkahi tubuh sang penjaga dan dengan lebih berani menuju ruangan Snow.
Sial, pikir Nathan. Seorang penjaga lagi. Berkepala botak, kali ini dengan pistol terselip di pinggang. Tepat di depan kamar Snow.
Nathan mengendap sepelan mungkin di belakang orang itu. Ia berusaha tak membuat suara sehalus apapun. Namun pria itu tajam perasaannya. Ia segera membalikkan badan dan mendapati sosok Nathan yang sudah siap mengacungkan stun gun. Pria itu segera mengayunkan kepalan tinjunya ke wajah Nathan. Namun untunglah Nathan lebih gesit. Wajah Nathan hampir kena. Pemuda itu segera memanfaatkan momen tersebut sebelum pria jahat itu merogoh pistolnya. Dan, stun gun langsung didaratkan oleh Nathan. Setelah si pria terkapar, tanpa membuang waktu, Nathan segera memasuki kamar Snow.
“Si, siapa?” tanya Snow ketakutan saat sesosok pria bertopeng kain hitam mendobrak masuk ke kamarnya. Nathan dengan segera melepas penyamarannya.
“Nate…Itu kamu?!” tanya Snow. Meski Nathan beranjak dewasa, namun Snow masih bisa mengenali perawakan sahabatnya itu. Snow segera memeluk Nathan erat. “Aku selalu yakin, kamu pasti akan datang, Nathan…” Air mata Snow tumpah di bahu Nathan, membuat lelaki itu salah tingkah.
“Ayo, White, kita harus keluar dari sini.” Nathan menggenggam tangan gadis itu.
“Lewat mana?”
“Yang tercepat. Jendela.”
Snow mengangkat sebelah alisnya, sementara Nathan mengeluarkan tali panjang dengan pengaitnya dari tas yang dibawanya. “Aku sudah mempersiapkan diri, White. Tak mungkin kita lompat begitu saja dan mati konyol di bawah sana.”
Nathan mengikatkan tali di pinggang Snow dan juga di tubuhnya, kemudian membopong Snow untuk menuruni dinding rumah itu pelan-pelan. Saat hampir sampai di bawah, Nathan mendengar suara berisik dari dalam kamar Snow. Dan tiba-tiba, kepala pria yang tadi dilumpuhkan Nathan muncul di jendela. Ia memandang marah Snow dan Nathan yang sudah sampai di bawah dengan selamat. Dengan segera ia menembak membabi buta ke arah kedua remaja itu. Snow dan Nathan segera berlari menghindar.
“Sial!” ujar Nathan. Nathan berhenti berlari, lalu ia memegang kakinya yang terasa perih. Timah panah mengenai kakinya. Ia mengangkat tangannya yang bersimbah darah.
“Kamu tak apa-apa?” tanya Snow cemas.
“Jangan khawatir, ini hanya tergores.” Nathan menjawab. “Sudahlah, pergilah ke arah hutan! Cepat!”
“Kamu bagaimana?”
“Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”
“Tapi…”
“Cepat!” Nathan berujar sambil mendorong Snow.
Tanpa berhitung, Snow segera melarikan diri, memasuki hutan yang gelap pekat.
Di saat yang bersamaan, Nathan bisa melihat dua orang anak buah Rowena dari kejauhan, sedang mengejar mereka berdua. Terpincang-pincang, Nathan melarikan diri ke arahyang berkebalikan dengan Snow. Ia sengaja berlari lebih lambat agar kedua orang itu mengejarnya. Namun saat Nathan menolehkan kepala ke belakang, ternyata yang mengejarnya hanya seorang. Kemana yang seorang lagi?
Nathan menggigit bibir bawahnya, meski terluka, ia yakin bisa lolos dari lelaki itu. Ia masih memegang stun gun. Tapi Snow White?
*
Nafas Snow tersengal. Kakinya terasa lemah. Ia terkurung dalam ruangan yang sama dalam waktu lama. Ia tak banyak berlari, berolahraga, atau melakukan berbagai aktivitas yang seharusnya dilakukannya jika ia bebas. Pelarian ini cukup berat baginya. Snow tersungkur. Ia tak tahan lagi berlari. Samar sinar rembulan menerangi hutan. Snow memandang sekeliling. Ia tak tahu arah, dan tak tahu apakah ia berlari cukup jauh atau tidak.
Kesunyian hutan yang mencekam kecuali nafasnya sendiri membuat Snow bisa mendengar derap dedaunan yang terinjak di dekatnya. Saat itulah, Snow menyadari, bahwa ia diikuti sedari tadi. Dan benar, sosok pria botak dan tinggi besar maju perlahan sambil tersenyum buas penuh kemenangan.
Mata Snow memejam, ia akan tertangkap. Ia pasrah sepenuhnya pada nasib.
Dan di saat itulah, tiba-tiba suara ambruk yang malahan terdengar. Snow membuka mata, dan di sanalah ia melihat si botak tersungkur di tanah, serta sesosok manusia yang bertubuh mungil, memegang batang pohon yang cukup besar.
*
“Dasar bodoh! Tak becus! Tak tahu diuntung!!”
Pagi itu suara Rowena membahana di seluruh rumah. Kemarahannya ia tumpahkan melalui suara-suara bernada tinggi yang memekak di telinga siapapun yang mendengarnya.
“Kenapa kalian berdua baru memberitahuku baru ini? Hah? Kenapa tidak dari semalam?!” Rowena memandang tajam pada dua anak buahnya yang mengejar Snow White namun gagal.
Si botak langsung menjawab,”Maaf, Nyonya. Kami sudah berusaha memberitahu Nyonya, tapi semalam, Nyonya mabuk berat bersama tamu-tamu lain, jadi kami…”
Suara ‘Prang!’ tiba-tiba terdengar. Semua yang di ruangan terkejut. Rowena baru saja melempar gelas yang dipegangnya ke arah si botak, tepat mengenai dahinya. Pria itu sendiri tampak terkejut dengan peristiwa itu. Ia memegang dahinya yang berdarah, terkena pecahan gelas. Atmosfer ruangan seketika makin mendingin.
Bodoh, Rowena tak suka dibantah, apalagi disalahkan seperti itu. Kenapa tidak minta maaf dan mengakui kalau itu kesalahanmu sendiri? ujar Dante dalam hati. Dante memang mengenal perilaku majikannya itu. Rowena bisa lebih kejam dari itu, kalau dia mau.
“Keluar! Keluar kalian semua!” Rowena berteriak geram, mengusir semua orang di ruangan. “Dante, kamu tinggal di sini. Aku ingin bicara.”
“Dante, menurutmu bagaimana?” tanya Rowena sambil menghempaskan diri ke sofa panjangnya setelah ruangan itu hanya terisi mereka berdua. Kepalanya terasa sakit, mengingat semua rencananya berantakan.
“Nyonya ingin menghabisi Snow White dan keluarga Logan?” ungkap Dante tanpa basa-basi lagi. Dante sudah memperkirakan White ditolong oleh keluarga Logan, dari informasi anak buah yang diserang itu. Ia mengaku samar-samar melihat ‘sekelompok orang-orang bertubuh kecil’ sebelum benar-benar pingsan. Hanya keluarga Logan lah, yang mengasingkan diri ke hutan karena tak tahan akibat perlakuan diskriminatif masyarakat akibat tubuh kurcaci mereka.
“Snow White belum berumur enam belas, Dante. Membunuhnya sekarang sama saja sia-sia.”
“Lebih baik Nyonya menyusun rencana, menghabisi Snow di waktu yang tepat dan tak mencurigakan, sehingga Nyonya terlihat tak bersalah. Mungkin kita bisa gunakan cara yang serupa seperti waktu Nyonya membunuh Carl White.”
“Maksudmu…”
“Ya. Racun.”
Rowena mengelus dagunya. Berpikir.
“Kamu selidiki keluarga Logan, hingga ke hal terkecil mereka. Apa kebiasaan mereka. Pekerjaan mereka. Bahkan apa yang mereka lakukan dari hari ke harinya. Dari informasi itu, kita susun ulang rencana untuk membunuh Snow White tanpa harus mengotori tanganku secara langsung.”
Dante mengangguk.
“Ingat, Dante. Hati-hati. Kita hanya punya waktu beberapa minggu lagi, sebelum Snow berusia 16 tahun.”
“Ya, Nyonya.” Dante pun meninggalkan Rowena yang sedang berpikir sendirian.
*
“Kalian selalu membeli sebanyak ini?” Snow bertanya pada Jean Logan saat melihat tumpukan kebutuhan sehari-hari yang baru saja mereka beli. Nathan juga tampak di sana, membantu keluarga Logan berbelanja dan mengangkat barang. Semenjak menemukan Snow White selamat bersama keluarga Logan, Nathan jadi sering ke hutan, untuk menjenguk gadis itu dan membantu keluarga Logan sebisanya sebagai balas budi terhadap kebaikan mereka.
“Ya, kami biasa membeli barang kebutuhan beberapa hari sekali ke pasar kota. Supaya kami tak terlalu lelah harus bolak-balik ke kota terlalu sering. Kamu tahu sendiri kan, di hutan ini tak ada toko atau kios. Kami tinggal memesan di toko langganan kami, dan kami tinggal menggotongnya saja ke hutan.”
“Kalian yang memesan apel ini?” tanya Snow dengan mata terbelalak saat melihat beberapa butir apel terbungkus rapi dalam keranjang.
“Eh, entahlah. Kami tidak memesannya. Mungkin pemilik toko salah memasukkan,” ucap Jean.
“Ini…apel dari kebun ayah. Cara mengemas ini, dan juga stiker ini, ini semua milik kami.”
“Benarkah?”
Snow White mengangguk. Ia sama sekali tak ingin memakan apel-apel itu. Ia teringat Rowena, pemilik dan pewaris harta sang ayah. Ia merasa harus waspada terhadap setiap kemungkinan.
Tiba-tiba Jean membuka plastik yang membungkusnya, dan langsung menggigit sebuah. “Ini lezat.” Ia berkata.
“Kau, tidak apa-apa?” tanya Snow White takut-takut.
“Ini hanya apel, White, tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Dan anehnya, tiap kali berbelanja, apel dari perkebunan White itu selalu ada, meski keluarga Logan tak pernah merasa memesan apel.
Kiriman kedua, kiriman ketiga, hingga kiriman keempat, Snow masih belum mau memakannya. Hingga datang belanjaan mereka di kali kelima, dan keluarga Logan baik-baik saja memakan apel-apel itu, barulah Snow berani memakannya.
Di kiriman yang keenam, saat Snow White sudah percaya bahwa apel-apel itu tak ada hubungannya dengan Rowena, tanpa ragu, White memakan apel itu terlebih dahulu. Kewaspadaannya pudar.
Dan ia, langsung terkapar jatuh ke lantai.
Sementara keluarga Logan dan Nathan mengerubungi Snow White yang tiba-tiba jatuh, sosok berkepala botak, anak buahRowena yang beberapa minggu ini ditugaskan mengintai rumah keluarga Logan, segera menyusup dan berlari meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia ingin segera mengabarkan pada Rowena, akhirnya misi mereka berhasil. Mungkin bukan kabar yang diinginkan Rowena sepenuhnya, karena yang diinginkan Rowena adalah kematian Snow White, seluruh keluarga Logan dan Nathan. Tapi, kematian Snow White saja, pasti sudah menerbitkan rasa senang majikannya.
*
Nathan merasa ia pasti berhalusinasi. Ia baru saja hendak membaringkan kembali tubuh gadis itu, saat tiba-tiba ia mendengar suara dari mulut Snow.
Snow terbatuk.
Ternyata benar, mulut gadis itu sedikit bergerak, seakan tersedak. Nathan mencoba membuka mulut Snow dan saat itulah potongan kecil apel beracun yang dimakannya keluar dan jatuh ke lantai. Mungkin karena Nathan menggerakkan tubuh Snow, apel beracun yang tersangkut di mulut gadis itu meluncur keluar, menyelamatkan Snow White dari salah prasangka akibat kelumpuhan yang disebabkan racun itu.
*
“Untunglah kamu tak menelannya, White. Seandainya kamu menelannya, tak mungkin kamu bisa hidup.” Jean Logan berkata, sambil meletakkan baki berisi minuman ke atas meja.
Mereka merayakan kembalinya Snow White dengan makan bersama. Pondok itu kini tampak lebih ceria lagi, menyambut Snow White yang hidup kembali. Meja makan terasa penuh sesak oleh tujuh orang keluarga Logan, Nathan, dan Snow White, serta berbagai macam hidangan yang melengkapi kebahagiaan mereka.
“Sekarang apa rencanamu?” tanya William.
“Semenjak terkurung di rumah, aku selalu memikirkan cara bagaimana membalas ibu tiriku.” Snow menjawab. Ya, karena hanya terkurung di kamar, ia menghabiskan waktu dengan memikirkan berbagai macam cara, dari yang sangat kejam hingga biasa-biasa saja. Tapi Snow sudah punya rencana terbaik.
“Dengan meracuninya juga?” tanya salah satu anak Logan.
“Tentu tidak, Smith. Aku akan memakai cara yang lebih…manusiawi. Aku akan melaporkan perbuatannya dan membuat ia dipenjara cukup lama untuk menyesali perbuatannya selama ini.” Snow White berucap dingin.
“Setuju. Kurasa itu lebih bijaksana, dear.” William berkata sambil menyentuh lembut lengan Snow White. “Kadang kita sulit untuk memutuskan tindakan yang benar karena dibutakan amarah dan dendam. Tapi aku bangga kamu tidak melakukan itu.”
Snow White mengangguk. Ia juga ingin segera mengakhiri perseteruan dengan ibu tirinya. Ia hanya ingin hidup tenang, dan bahagia, bersama sosok yang ia cintai. Nathan.
*
Nathan dan Snow duduk di padang rumput, persis seperti saat terakhir mereka melakukannya 6 tahun lalu. Namun kali ini mereka memandang ke arah matahari yang terbenam perlahan di ufuk barat, dengan tangan saling menggenggam. Waktu itu, belum ada kehadiran Rowena di antara kehidupan mereka, dan saat ini pun sama. Rowena, Dante, dan anak buahnya sudah meninggalkan rumah keluarga White, siap mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di balik jeruji besi. Ladang gandum di depan mereka tampak menguning keemasan memantulkan cahaya senja. Angin yang sesekali bertiup kencang membuat ladang gandum itu seperti lautan berombak yang berwarna emas.
“Kamu tidak takut menghadapi pengadilan nanti?”
Snow White menggeleng. “Aku sudah lama terkurung dalam ketakutan selama 6 tahun ini. Sudah saatnya aku melawan Rowena. Aku akan bersaksi mengenai kejahatannya selama ini. Semenjak kematian ayahku, hingga yang dilakukannya padaku. Ditambah dengan bukti-bukti dari otopsi mayat ayah, juga percobaan pembunuhan yang dilakukannya padaku, ia pasti takkan lolos dari hukuman berat.”
“Kamu yakin akan menang?” tanya Nathan lagi.
Snow mengangguk penuh keyakinan. Ia tampak lebih optimis sekarang. “Karena aku yakin, kebenaran pasti akan menang.”
Nathan tersenyum. Ia lega, melihat gadis itu tak lagi terkurung dalam kegelapan, dan kini menikmati benar cahaya kebebasannya. ”Aku juga yakin, Snow.” Ia tak pernah lagi memanggil gadis itu White, semenjak ia melingkarkan cincin tunangan di jari manisnya. Nathan mengecup lembut dahi Snow dan melingkarkan tangannya di pundak kekasihnya itu.