0

Tema #14DaysofInspiration

Tema tulisan hari pertama adalah:

Trust (Percaya)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari kedua adalah:

Courage (Keberanian)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari ketiga adalah:

Patience (Kesabaran)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari keempat adalah:

Respect (Hormat)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari kelima adalah:

Happiness (Kebahagiaan)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari keenam adalah:

Generosity (Keramah-tamahan, Kemurah-hatian)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

.

Tema tulisan hari ketujuh adalah:

Forgiveness (Ampunan)

Untuk memudahkan yang lain membaca dan melihat cerita inspiratif yang kamu buat, klik image yang ada di bawah ini, setelah halaman baru dari linknya muncul, tuliskan namamu, setelah itu add link dari post yang kamu buat.

Agar yang lain bisa tahu siapa saja yang sudah menulis untuk tema hari ini. Jangan lupa mention link tulisanmu ke @WordsofPoetica dan @Lovaboration.

So guys, let’s write and inspire! Have fun!

5

Proyek #14DaysofInspiration

Untuk kurun waktu yang cukup lama, banyak yang meyakini dan mengamini bahwa satu karya sastra yang membekas dan meninggalkan kesan, biasanya tak pernah terlepas dari nilai-nilai moral atau amanat yang terkandung di dalamnya. Ada ‘pesan’ yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Ada ‘maksud’ tertentu yang ingin coba dibagikan kepada pembaca.

Namun ternyata, seiring waktu, beberapa mulai seakan-akan menjauhi ‘amanat’ sebagai bagian penting dari sebuah tulisan. Lalu yang muncul adalah serentetan kalimat puitis nan manis, namun terkadang tak bermakna dan juga tak meninggalkan kesan apa-apa setelah kita membacanya. Itu mungkin terjadi karena ketakutan kita, karena takut cerita yang kita buat menjadi ‘membosankan’ dan cenderung ‘menggurui’ pembaca kita.

Berdasar atas alasan itu, kami akan mengajak kalian semua untuk mencoba, dan juga menantang kemampuan kalian dalam menulis cerita inspiratif. Cerita yang jelas-jelas sudah kita siapkan ‘amanat’ di dalamnya, baik nantinya kita bagikan itu secara langsung atau tidak langsung dalam cerita yang kita buat. Ayo ikut bereksplorasi dengan tema dan kemasan tulisan yang berbeda. Kita akan belajar, berbagi dan menulis cerita inspiratif bersama-sama. Bagaimana agar bisa ikut menulis bersama?

1. Kamu harus punya blog. WordPress, tumblr, blogspot, atau apa pun. Terserah kamu.

2. Setiap hari, @WordsofPoetica dan @lovaboration akan melempar satu tema ke timeline. Perihal judul yang ingin dibuat, itu semua dikembalikan kepada teman-teman. Satu tema, satu tulisan berupa cerita inspiratif dalam satu hari. Akan ada 14 tema pada akhir ajakan menulis di #14DaysofInspiration.

3. Tulislah sebuah tulisan fiksi dengan tema yang kami lemparkan di timeline. Panjang tulisan tidak dibatasi.

4. Setiap hari, setelah selesai menulis, mention link tulisan kamu ke @WordsofPoetica dan @lovaboration. Kami akan membagi link itu ke timeline dan blog kamu tentu akan lebih mudah dikunjungi banyak orang.

5. Tema setiap harinya akan berbeda. Jika hari pertama menulis dengan tema A, di hari kedua kamu akan mencoba menulis dengan tema B atau C, pengalaman baru, eksplorasi ide baru juga.

6. Jangan lupa juga sertakan tagar #14DaysofInspiration di setiap akhir tulisanmu.

7. Permainan ini akan dimulai tanggal 10 Juli sampai 24 Juli.

Tertarik? Mau coba menulis bersama kami? Jangan ragu untuk memulai.

Salam Kami,

@WordsofPoetica dan @Lovaboration

0

Rasa yang Tersembunyi

by

Lala Prisca dan Masya Ruhulessin

.

“Mmm… kamu lagi.”

Yang merasa disapa hanya menolehkan kepalanya sambil berkernyit dahi, “Iya, kenapa?”

“Duh, ketusnya…,” kata Ama dalam hati. “Bukan biasanya Aldi begini,” Ama bergegas menjauh dan mencari bangku sendiri dalam perpustakaan itu.

Matanya sesekali melirik pada Aldi yang duduk di ujung kanan ruang ini, tempat pertama kali bertemu. Ama baru mengenalnya belum lama. Tetapi dia mulai menyukai hal-hal kebiasaan kecil Aldi. “Ah sudahlah, mungkin dia tak ingin diganggu kali ini. Nanti dia juga bercerita,” Ama berusaha menghibur diri, memulai belajarnya.

Ama mulai menekuni buku teksnya. Ia membalik halaman demi halaman dengan seksama. Ama mendongak ke arah jendela untuk sekedar menyegarkan mata lalu metunduk lagi menatap buku. Namun siluet punggung Aldi yang terpantul di kaca memaksa konsentrasinya tak lagi searah. Ia membaca lalu melirik sesekali ke arah Aldi.

Ama merutuk dalam hati. Mengapa lelaki yang kadang menyebalkan itu dapat menarik perhatiannya dari sebuah buku yang begitu menarik. Ama memejamkan matanya kemudian membenamkan kepalanya pada dasar buku. Ia berharap Aldi segera hilang dari pikirannya.

“Kebanyakan pikiran?”

Ama kaget mendengar suara dibelakangnya. Didongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Ama kaget bukan main, Aldi menatapnya dengan pandangan acuh tak acuh. Ama merasakan darah mengalir deras ke pipinya.

“Sok tahu ah,” tergagap Ama menjawabnya.
“Akui saja…, kenapa?” Goda Aldi sambil mengambil bangku duduk di depan Ama.

Ama pun makin jengah. Dia tahu Aldi takkan menghentikan tatapan itu sampai mendapat jawaban dari pertanyaan. Ama dengan cepat menutup buku yang dibacanya, dibereskan semua perlengkapannya dan siap meninggalkan perpustakaan dan Aldi.

“Hei, tunggu. Kamu belum jawab pertanyaanku.” Aldi menyambar lengan kurus Ama berusaha menahannya.

Ama terhenti dan sejurus menghela nafas. “Tadi apa yang kau lakukan ketika kau duduk di bangku itu?” Sambil kepalanya menunjuk tempat duduk Aldi.

“Duduk? Aku duduk di mana? Aku barusan datang dan melihatmu sedang melamun, kupikir kamu sedang banyak pikiran hingga tak mau menungguku di tempat biasa.”

Kini giliran Ama mengernyit dahi. Ada yang aneh. Seperti waktu terhenti mereka sibuk dengan kebingungan sendiri.

“Sudah, lepaskan. Aku pulang. Besok saja kita di sini lagi.” Aldi pun berat hati melepaskan genggamnya, seolah ada yang pergi.

“Jangan-jangan dia lagi…,” katanya dalam hati. Nyaris dia memanggil Ama hendak menjelaskan sesuatu. Tetapi lambaian tangan terhenti di udara dan suaranya pun ditelan kembali.

***

Aldi mematung menatap layar laptopnya. Belum ada satu kata pun yang dia ketik di sana. Padahal besok makalahnya harus dikumpul pukul tujuh pagi. Pikirannya kini dipenuhi wajah seorang gadis yang sejak beberapa minggu belakangan ini giat berkutat di pikirannya, Ama.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan seseorang masuk. Perawakannya tinggi putih, persis Aldi wajahnya.

“Aku pinjam gitarnya dong.”

“Tuh..” ujar Aldi sambil menunjukkan letak gitar dengan bibirnya.

“Kamu tadi ketemu cewek ya di perpus, manis, rambutnya sebahu?”

“Yang rambutnya sebahu banyak, Aldi.”

“Ada yang bicara sama kamu gak?”

“Ehm. Entahlah. Aku lupa. Kenapa?”

Aldi hanya menggeleng tak bersuara menjawab pertanyaan saudara kembarnya Aldo. Ia kembali mengarahkan perhatiannya ke layar laptop dan berharap akan menyelesaikan makalahnya tepat waktu.

***

Ama melamun di meja belajarnya dalam kamar. Dia masih memikirkan sikap Aldi yang aneh. Ama menghela nafas panjang, tak habis pikirnya tentang Aldi hari ini.

Dihembuskan lagi kekesalannya. Besok makalah harus selesai.

(((Dering Ponsel)))

Ama hanya menatap layar ponsel-nya. Nama Aldi sana, dan dibiarkannya. Entah dia tak mau diganggu lagi.

Berkedip cahaya dari layar ponselnya. Sebuah pesan masuk dari Aldi.

“Kamu pasti sibuk juga ya, tak mau angkat telponku? Selamat malam, selamat belajar.”

Ama menatap lama layarnya, dan mengedikkan bahunya. Tanpa membalas pesan itu. Tugas sudah menanti.

***

Pagi hari yang tenang. Remah-remah matahari baru saja mencapai tanah. Aldi baru saja menyelesaikan makalahnya. Waktu telah menunjukkan pukul lima dan ia sama sekali belum memejamkan mata sedari kemarin. Diliriknya ponsel yang tergelatak di atas meja. Tidak ada pesan yang masuk. Bahkan balasan pesan yang sangat diharapkannya pun tak ada.

Aldi beranjak malas dari tempat duduknya. Diraihnya handuk lalu menuju ke kamar mandi. Ia berharap dinginnya air akan menghapus setiap spekulasinya tentang Ama sepanjang malam tadi.
Tapi semua itu percuma. Dinginnya air malah semakin membuat spekulasi di otaknya berlipat ganda.

***
“Selamat pagi Ama, kamu sehat? Aku ingin bicara denganmu, sepulang kelas di tempat biasa.”

Ama menghembus nafas kesal. Pandangannya masih menatap layar ponsel. Dilemparnya ke dalam tas. Sedang mengemudi, tak baik membalas pesan ponsel, seperti kata Aldi.

Lagi-lagi dia menghempas kesal, ingatan tentang Aldi makin menjadi-jadi. Laki-laki itu sudah separuh hatinya dan menanamkan banyak putik-putik kembang.

Dengan gemas Ama mencengkeram kemudinya lalu melanjutkan perjalanan menuju tempat biasa mereka bertemu.

Ama menemukan lelaki itu, duduk membelakangi arah kedatangannya. Dia hafal betul pemilik punggung hangat itu. Tiba-tiba saja pipinya menghangat. Berkelebat kenangan manis awal-awal pertemanan mereka. Ama diam-diam menyimpan bahagia pada Aldi. Tak pernah lebih menaruh harap.

Ama lekas bergegas menuju sosok tampan itu.

Tiba-tiba…

Hujan turun dengan lebatnya. Ama menyesal karena lupa membawa payung padahal letak parkir mobilnya lumayan jauh dari tempat Aldi menanti. Ama menimbang-nimbang akan keluar atau tidak. Pasalnya jika ia basah tercurah hujan, flu berat tak bisa ia tolak. Ama tak ingin itu terjadi karena besok ada banyak ujian yang menanti.

Ama akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Aldi yang kini punggungnya terlihat samar-samar akibat kaca yang mengembun. Ia ingin meminta Aldi untuk menanti sebentar hingga hujan agak reda.

Belum juga mengirim, ada seseorang yang mengetuk-ngetuk kaca mobilnya.

Sesosok serupa Aldi dan membawa payung berada di dekatnya. Bayang itu memberikan isyarat untuk meminta masuk. Ama mengerti. Sedikit membukakan pintu dan menggeser tubuhnya, duduk di sisi kiri.

Benar dia Aldi.

Ama sedikit lega. Tetapi kepalanya dipenuhi tanda tanya. Secepat itu Aldi tiba? Ama berusaha mencari punggung yang dilihatnya tadi. Ah, kaca di luar terlalu berembun, sulit menembus penglihatan.

Ama menatap Aldi, meyakinkan diri bukan melihat hantu atau Aldi.jadian.

“Heh, sudah ini sungguh aku, Aldi. Tadi aku menunggumu dan melihat mobilmu mulai masuk, dan hujan. Tapi rupanya terlalu deras, baiknya kita di sini saja, keberatan?”

Ama hanya menggelengkan kepala. Berdua dan sedekat ini masih saja membuatnya gugup. Terkadang bertanya-tanya apakah Aldi hingga ikut mendengar degup kencang dari dadanya.

“Aldi, maaf aku tak membalas telpon dan pesanmu semalam hingga pagi. Kamu juga tahu tugas-tugas kuliah kita semakin berat.”

Aldi hanya tersenyum. Tangannya meraih puncak kepala Ama dan mengacak-acak rambutnya.

“Iya, aku tahu. Aku hanya ingin bicara berdua saja. Kangen mungkin…,” Aldi seolah menggantung ucapannya. Matanya menatap mata Ama. Tangan Aldi hendak mendekatkan kepala Ama pada peluknya.

Tetapi dengan gerakan sedikit halus berusaha menahan diri agar tak jatuh di pelukan Aldi. Meski sebenarnya dia rindu dan ingin memeluk Aldi.

Aldi tahu diri, membaca isyarat Ama, dan tak memaksanya.

“Aldi, kau ingin bicarakan apa sebenarnya?” Ama membuka percakapannya.

Aldi menggigit bibirnya kencang lalu menghela napas panjang.

“Begini Ama. Aku minta maaf atas perlakuan untuk semua kebingungan yang tercipta belakangan ini”

“Maksudnya?” Ama mengernyitkan dahi keheranan

“Untuk semua kejadian aneh di perpustakaan dan barusan.”

Ama berdehem, mengatur napas dan mulai berbicara pelan. Ia tak ingin Aldi membaca bahwa begitu banyak pertanyaan yang menggantung dipikirannya.

“Memang ada yang aneh ya Al? Semuanya biasa saja menurutku”

Aldi tersenyum kecut. Tak disangka ekspresi Ama sedatar itu. Ini diluar ekspektasinya.

“Memang ada apa Aldi?”

“Apakah kamu tidak menyadari ada yang aneh belakangan ini Ama? Seperti katamu kamu melihatku duduk di perpustakaan padahal aku baru saja datang kesana”

“Oh yang itu. Aku sudah melupakannya” ujar Ama acuh tak acuh.

“Mmm…,” kembali Aldi menggantung percakapannya.

Mereka menjadi hening. Hanya suara ‘ketak-ketik’ dari ponsel masing-masing. Mereka lebih memilih diam, tak ada yang berinisiatif meneruskan pembicaraan.

Hujan pun reda.

***

“Di, pinjam ponsel-mu. Mepet pulsa nih. Mana?” Tanpa menunggu jawaban, Aldo mencari-cari sendiri yang diingin.

“Tuh…,” bibirnya mencebik menunjukkan ponsel itu di atas nakas.

Aldo melompat di atas tempat tidur, dan menjadi berantakan ala Aldo, pun segera sibuk dengan ponsel Aldi.

Aldi melihat itu dengan berkernyit. Heran, Aldo senyum-senyum sendiri dengan layarponsel-nya.

“Kamu chatting sama siapa sih?”

“SMS saja kok, sama teman cantik pasti,” Aldo makin menggoda Aldi.

Aldi terdiam. Sesekali melirik curiga pada senyum-senyum Aldo.

((( Dering Ponsel )))

“Nih ada telpon masuk, Di,” ujar Aldo sambil menyodorkan ponsel ke tangan Aldi.

Sebuah nama tertera di sana membuat Aldi hendak melonjak setinggi-tingginya tapi ia tahan karena malu dengan Aldo. Ia lalu berlalu ke teras kamarnya untuk berbicara dengan seseorang yang jauh di sana.

“Halo Ama. Selamat malam. Ada apa?” terdengar suara Aldi berujar.

“Aku rindu kamu.”

“…..”

Aldi seperti terkena badai es hebat. Ia mematung tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia tak menyangka ungkapan rindu terlontar dari gadis yang siang tadi begitu acuh padanya.

“Maafkan aku Aldi. Aku hanya mencoba menahan semua rasa ini tapi terlalu berat nampaknya.”

Aldi masih saja diam seribu bahasa. Ia mencoba mencerna apa yang Ama katakan.

“Aldi, kamu masih di sana kan?”

“Eh, eh, iya. Kamu di mana sekarang?”

“Aku di rumah Aldi, mau di mana lagi?”

Ok!”

Aldi segera menutup ponsel-nya, setengah berlari meraih kunci motor dan jaket cokelatnya. Tatapan keheranan Aldo yang masih duduk santai di atas tempat tidur tak dihiraukannya. Yang Aldi tahu ia harus segera berjumpa dengan gadis penggangu pikirannya – Ama.

***

“Aldi?”

Sesosok itu berbalik. Temaram lampu beranda makin membuatkan siluet itu menggrafirkan ketampanan Aldi. Ama nyaris tak berkata-kata.

“Sudah di sini…,” terbata-bata Ama menahan gugup.

Mereka duduk di kursi beranda. Keheningan sedang berbicara dan mendengarkan degup-degup yang mencari tahu — mencari kepastian.

“Mengapa kau harus memendam rindu? Padahal kau tahu aku juga merasakan hal yang sama” ujar Aldi memecah keheningan

Ama menyesap udara malam, melirik Aldi sebentar lalu meluruskan pandangannya ke depan, menatap langit.

“Maafkan keragu-raguanku atas perasaan ini. Aku bahkan tak berani berjumpa denganmu mengingat bagaimana kejadian di dalam mobil itu. Aku malu sekali. Aku sungguh bodoh menafsirkan segalanya. Aku bahkan tak bertanya terlebih dahulu padamu”

“Memangnya ada apa? Apa yang perlu kamu konfirmasi?”

“Beberapa jam sebelum agenda pertemuan kita, aku melihatmu atau lebih tepatnya seseorang yang mirip denganmu berjalan bergandengan tangan mesra dengan Kharisa, sepupuku.”

And then?”

“Aku cemburu. Rasa cemburu menguasaiku begitu hebat hingga aku tak bisa membuka mulutku untuk bertanya padamu hari itu. Aku marah, kesal pada dirimu juga diriku sendiri. Itulah kenapa aku tiba-tiba menjauh darimu. Maafkan aku.”

Aldi mengernyitkan dahi mencoba menangkap apa yang Ama katakan.

“Kemudian mengapa kau tiba-tiba memiliki keberanian mengungkapkan rindu padaku malam ini?”

“Tadi siang Kharisa membawa pacarnya untuk dikenalkan di acara keluarga. Aku hampir gila untung saja aku akhirnya tahu itu saudara kembarmu Aldi. Namanya Aldo bukan?”

Aldi terdiam. Tatapannya tajam tertuju mata Ama. Segera saja rasa canggung di antara mereka mengudara.

“Iya, itu Aldo saudara kembarku. Dia juga yang kau temui di perpustakaan itu,” suara Aldi memecah udara sesak itu.

Ama tersenyum, raut kelegaan terpancar.

“Ama, pun aku rindu. Boleh kukatakan sesuatu?”

Ama jengah dan merona merah. Beruntung temaram lampu menutup rasa malunya. Ama segera mengangguk kecil.

“Ama, aku Aldi berjanji untuk mencintaimu setulus hati, maukah menerimaku?”

Dan tiba-tiba wajah Ama memucat, nyaris jatuh pingsan. Untung Aldi masih berada di dekatnya, dengan sigap dipeluknya Ama.

Ama menyurukkan wajah dan kepalanya di dada Aldi. Ia menyembunyikan rasa jengah dan malu. Aldi masih menunggu jawaban.

Ama masih bersabar. Degupnya telalu kencang oleh rasa bahagia, hingga hampir tak satu pun ucapnya.

“Iya Aldi, pun aku mencintaimu dan hampir gila bila merindumu…,” sedikit terbata dan setelah beberapa saat akhirnya Ama menjawab.

Kelegaan kini menjadi udara. Aldi memeluk erat Ama.

“Masih cemburu nanti, bila kau tak bisa membedakan kami?”

Aldi mengaduh perlahan, jemari Ama mencubit perlahan membalas godaan, Aldi mempererat pelukan dan mengecup kening kekasihnya – Ama.

0

Bahagia yang Nyata

by

Indah Lestari dan Aini W.K

.

Saat sahabat baikku tak sengaja memposting beberapa foto, tak sengaja mataku menatap sosok seorang pria berkacamata. Aku memandang menajamkan mata tepat ke depan layar laptopku. Tak perlu mencari kacamata yang tersembunyi didalam tas. Karena aku yakin itu adalah dia. Seseorang yang pernah mengisi relung hatiku. Dia seseorang yang kini bersembunyi dan mengunci pintu hatinya untukku. Dia dengan senyum bahagianya telah menorehkan luka yang di dalam hatiku. Tawanya kini seolah seperti sebilah pisau yang menancap di jantungku. Sesak napas dibuatnya namun tak bisa berkata-kata. Detik itu seakan semua harapan melayang.

Melayang? Haruskah hal itu kusebutkan berulang kali karena kenyataannya aku sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi tentangnya. Hatiku tawar. Tak ada pahit yang harus kucicip seperti tiga tahun silam atau tak ada manis seperti yang sempat aku nikmati beberapa waktu ketika bersamanya. Aku sudah lupa bagaimana cara berhitung tentang perasaan, menimbang seberapa beratnya saja pun aku sudah tidak mengerti seperti apa. Iya, mungkin itulah yang sekarang aku rasakan. Tak ada rasa apa-apa.

Foto berduanya dengan entah siapapun itu nyatanya hanya membuatku terkejut untuk beberapa detik saja. Bukan karena rasa iri atau cemburu seperti yang kurasakan dulu, namun keterkejutan itu karena aku tak menyangka dia bisa berada dalam jarak sedekat itu dengan seorangperempuan. Satu hal yang aku ingat adalah dia tak pernah suka untuk terlalu dekat dengan kaum hawa entah karena alasan apa.

Saat bersamaku tak sekalipun tangan itu menggandengku mesra. Melihat tawanya yang begitu lepas hatiku seperti tercubit. Sakit. Tawa itu masih seperti tawanya dulu, lepas bebas dan bahagia. Aku tanpa sadar tersenyum mengingat betapa dulu tawa itu dia persembahkan untukku. Siapa dia yang mengembalikan senyumnya? Apakah dia juga membuat perempuan itu melayang karena mendambanya? Apakah perempuan itu akan melakukan apa yang seperti dia lakukan kepadaku? Memberikan cinta tanpa kata? Aku menutup mata, tak seharusnya aku memikirkan semua ini. Tak seharusnya rasa yang dulu ada membuatku berhenti melangkah.

Aku tak pernah menyangka langkah kakiku telah lama berhenti. Mematung di tempat dan tak pernah beranjak. Aku masih di sini dan sendiri merengkuh bayangannya. Kata yang dia ucapkan terkadang membuatku menjerit tertahan. Luka yang telah kering kini telah dia siram kembali dengan setetes cuka. Masih pedih dan terasa perih.

Ah, sepertinya aku tak sanggup melanjutkan tulisan ini. Tokoh rekaanku ini terlalu menyedihkan, aku bahkan sampai terseret masuk emosi yang berlebihan. Aku merasakan sesak dan kedukaan yang sama. Aku menjadi seperti perempuan patah hati dan hidup tanpa gairah yang tak pernah merasakan kebahagiaan. Ini terlalu menyakitkan.

“Sayang, kamu tidak lelah seharian di depan laptop seperti ini?”
Suara bariton seorang pria menyentakku dari khayalan. Tangan kekarnya memijat bahuku pelan membawa kenyamanan dan ketenangan. Sesaat aku merasa lepas dari segala beban. Tubuhku seperti melemas, sendi-sendi tulangku seperti disuntikkan penenang yang membuatku begitu santai. Ini hal yang sangat menyenangkan. Aku menyukai semua yang sedang dilakukannya.

Aku menengadahkan kepalaku padanya dan memasang wajah lelah yang tak dibuat-buat. Berusaha tersenyum namun yang ada malah terlihat seperti orang yang sedang meringis.

“Nanti kamu sakit,” lanjutnya.

Dibereskan semua perlengkapan pekerjaanku yang berada di atas meja warna ungu. Ballpoint, kertas, buku, notes berwarna-warni, post it yang ditempel hampir di seluruh bagian meja, terakhir pria itu mengklik tombol simpan dan menutup laptop yang masih dalam keadaan hidup. Aku membiarkan saja pria itu melakukannya, mungkin ini yang aku butuhkan; berhenti dan beristirahat. Nyatanya aku begitu menyukai apa yang dilakukannya. Ia mengkhawatirkan kesehatanku. Manis bukan?

Dipeluknya tubuhku dari belakang ketika aku beranjak bangun dari kursi kesayanganku. Diciuminya tengkukku dan dibisikkannya kata-kata yang selalu kusuka. “Kamu harus bersantai sedikit, sayang, jangan memaksakan diri seperti itu,” ia mengeratkan pelukannya, “Memang kamu tidak kangen mas?” lanjutnya lembut.

Ya, aku terlalu lama dan fokus ke pekerjaanku ini, tenggelam dalam cerita yang kutuliskan padahal deadline pun bila kuhitung masih terlalu lama. Entah sudah berapa malam ia kubiarkan tidur sendirian di ranjang besar kami, sedang aku menghabiskan malam hingga pagi hari dengan segala tetek bengek pekerjaan.

Aku membalas memeluknya dengan mesra.

“Ah, aku juga kangen banget sama mas, tapi kasihan deh mas tokohku, dia merana dalam kesendiriannya.” Aku bergelung manja dipelukannya. Dan dengan manja pula aku membahas tulisanku dengannya.

Pria itu memang memahami imajinasiku yang sering tak terkontrol dan tak terbendung. Terkadang aku bisa menangis sambil memeluknya ketika tokohku sedang bersedih, aku juga bisa sangat senang jika tokohku itu dalam keadaan senang. Mungkin jika orang lain yang melihat keadaanku mereka akan mengatakan aku mengidap Bipolar Disorder, kelainan kejiwaan yang dikarenakan suasana hatiku yang dapat berganti secara tiba-tiba antara kebahagiaan dan kesedihan yang ekstrim. Sungguh bahagia memiliki seseorang yang bisa memberikan kenyamanan seperti ini.

“Ini sudah pagi yah mas?” Tanyaku manja sambil memeluknya. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan mencium keningku lembut.

“Ayo, usahakan tidur sebentar, mas peluk kamu biar tidurnya nyenyak sampai besok siang.”

Kuturuti saja kata-katanya tanpa sedikitpun membantah. Perasaan sedih dan duka yang terbawa karena tokoh rekaan yang sedang kukerjakan hilang begitu saja tergantikan rasa bahagia dan senang karena merasa begitu disayang dan diperhatikan. Pria yang sedang menyelimutiku dengan tubuhnya yang hangat inilah yang selama empat tahun ini tetap menjaga kewarasanku diantara tokoh-tokoh yang kuciptakan yang tanpa kusadari sering merasuki alam bawah sadarku.

*
Cahaya matahari masuk tanpa penghalang melalui jendela kaca yang besar dalam kamarku. Kurasakan sentuhan bibirnya di keningku. Basah dan hangat menempel merasuk sukmaku. Aku membuka mata dan mendapati senyum indahnya.

“Sudah siang sayang, kamu harus bangun. Kamu harus makan dulu.”

Aku memejamkan mata lagi. Tak ingin mengakhiri pelukan hangat darinya. Toh ini hari minggu, tak harus dipusingkan dengan jam kerjanya. Dan urusan makan? Ah, itu urusan nanti. Dia memang selalu mengingatkan aku akan hal ini. Andai saja dia tahu, aku lebih bahagia dipeluknya sepanjang hari daripada menikmati sepiring makanan. Namun aku tetap saja membuka mata dan tersenyum. Tak ingin membuatnya sedih dan kecewa karena aku tak menuruti kata-katanya.

“Iya, mas,” kataku sambil menguap panjang. Pria yang tak terlalu tampan namun tatapannya begitu menghanyutkan itu tersenyum senang. Aku tahu apa yang akan membuatnya bertambah senang. Memasak! Iya aku akan memasak untuknya dengan kemampuanku yang seadanya. Tidak mengapa, ia tak pernah menolak walaupun hasil masakanku citra rasanya tak pernah benar. Bahkan ia selalu merasa senang dan menghabiskan apapun yang aku masak.

Membuat bahagia dan senang tidak harus berlebihan dan luar biasa. Hal-hal kecil seperti inipun nyatanya sudah membuat kami berdua bahagia. Saling mendukung, saling menyayangi, saling bermanja-manja itu sudah cukup bagi aku dan dia. Tak perlu kisah cinta yang seperti dalam semua tulisanku. Itu hanya rekaan belaka yang kubuat dengan terlalu mengada-ada.

Yang sekarang ada di sampingku adalah dia, seorang suami yang akan terus menjaga kewarasanku dalam bercerita seburuk apapun aku dibuat gila oleh tokoh yang hanya rekaan saja. Dan tentu saja, aku pun tak akan membiarkan diriku menjadi gila karena tokoh-tokohku itu, karena pria bercelana boxer yang sedang menemaniku memasak ini terlalu baik dan begitu nyata jika harus kubandingkan dengan mereka yang hanya khayalan.

0

Kisah yang Terulang

by

Dyaz AfryantoEllya Anggraini Uni Dzalika, dan Putra Zaman

.

“Kamu mau nggak hidup di surga selamanya?”

“Nggak.”

“Kenapa?”

“Aku mau hidup di dunia, satu hari saja, asalkan bersama kamu.”

Matanya menatap ke laut lepas, sedangkan aku masih terpaku pada senyum tulusnya. Senyum yang selama ini menenangkanku itu, tak kuasa aku menghapusnya. Entah bagaimana lagi aku harus membujuknya agar dia membatalkan perjalanan ini. Sudah berkali-kali kujelaskan bahwa melawan orangtua, terlebih ibu, adalah hal yang buruk. Aku tak ingin dia jadi anak yang durhaka, meskipun aku harus mengorbankan hubungan kami yang tak direstui ini.

Suara debur ombak yang menabrak dasar kapal memecah keheningan yang beberapa menit menyergap kami. Lalu kuraih tangan kekasihku itu. Kugenggam erat.

“Aku sungguh nggak mau kehilangan kamu. Tapi apa yang lebih berharga dalam hidup ini selain restu ibu?” kutatap matanya dalam-dalam.

“Entahlah…” dia tertunduk lesu.

Kuangkat dagunya dengan lembut. “Kita nggak harus seperti ini, sayang.”

Kedua mata kami saling memandang. Mata yang penuh ketulusan kudapati di sana. Tak ada keraguan memang, bila sebuah ketulusan kupertanyakan kepadanya.

“Aku mencintaimu…” katanya lirih.

Sontak kupeluk erat tubuh mungilnya yang berada di hadapanku. Seakan tak ingin melepasnya. Sudah terlalu banyak yang ia korbankan untuk hubungan ini. Sedangkan aku? Aku hanya mampu memberikan sejuta rasa yang tulus kepadanya.

Hembusan angin yang kian menyekap tubuh membuatku larut akan kebersamaan ini. Ingin rasanya kuhentikan waktu yang terus-menerus berputar. Kulingkarkan lenganku di pundak bidadariku. Melindunginya dari dingin malam yang kian menusuk.

“Ayo masuk, nanti kamu masuk angin,” ucapku sambil melepaskan dekapanku pelan-pelan. Lalu dengan sigap kukenakan jaket kulitku ke tubuhnya.

Setelah kami duduk di kursi penumpang, digenggamnya tanganku. “Sayang, aku nggak bisa kalau kita harus pisah.”

“Apalagi aku. Makanya aku lebih memilih pergi dari rumah,” disandarkannya kepalanya ke bahuku.

“Tapi bukan begitu caranya, sayang. Bagaimanapun hubungan kita gak akan baik selama nggak ada izin dari ibumu.”

“Jadi kita harus bagaimana?”

Aku terdiam sejenak. Aku ingat sekali air muka ibunya yang selalu tak ramah saat melihatku. Ibunya selalu bilang bahwa aku parasit, tidak memiliki masa depan, dan hanya memanfaatkan anak gadisnya demi harta keluarga. Aku sebenarnya tidak seperti itu. Hanya saja ibunya berkali-kali mengatakan kepada banyak orang bahwa aku seorang materialistis. Jadi, jangan salahkan jika aku benar-benar menjadi orang jahat karena perkataan ibu kekasihku ini.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku telah menjadi sesuatu yang buruk dimata keluarganya.

Aku tidak akan pernah menerimamu di keluarga ini!

Betapa aku akan selalu mengingat perkataan ibunya waktu itu. Ketika jari telunjuknya mengarah padaku dan mengusirku dari rumahnya.

Aku terpaksa menjalani hubunganku dengan Elina secara diam-diam, tanpa diketahui ibunya. Aku ingin sekali menyerah pada keadaan ini tapi besarnya rasa cinta yang diberikan Elina membuat aku tak ingin melepaskannya. Sampai idenya untuk melarikan diri dari rumah tak bisa dihindari. Ada rasa berdosa, tapi rasa cinta ini mengalahkannya.

Kuhembuskan napas cukup panjang, aku pun tak tahu harus bagaimana menghadapi ini. Apa yang harus kulakukan untuk membuat sikap ibunya berubah terhadapku?

“Lin, kamu sekarang istirahat dulu, ya. Mungkin masih dua jam lagi kita sampai pelabuhan. Biar aku yang jagain kamu.”

“Iya, aku sudah ngantuk banget nih,” kemudian dia beringsut dari dadaku. Dua kursi kosong yang ada di sampingnya sekarang sudah menjadi kasur baginya. Kuberikan ranselku sebagai bantalnya.

Sekejap saja dia sudah terlelap begitu pulas. Aku tersenyum memperhatikan wajahnya, tapi ada kegetiran yang menjalar di hatiku. Kami pergi jauh dari rumah. Entah ke mana, tanpa tahu tujuan.

Aku melihatnya tertidur dengan damai. Seperti katanya, bersamaku adalah hal terindah baginya, meski dalam keadaan susah. Aku kemudian melihat isi dompetku dan hanya bisa menghela nafasku.

“Uang tinggal segini, bagaimana nanti aku dan Elina bisa hidup untuk sehari-hari?” aku merasa pesimis dengan keadaan. “Aku harus cari kerja nanti, paling tidak ada uang untuk makan.”

Aku menutup mataku, tak kuasa menahan segala cobaan ini. Ya Tuhan bantu aku melewati segala rintangan ini. Lama aku terdiam dan menutup mata, lalu air mataku jatuh tanpa aku perintahkan.

“Sayang kamu nangis ?”

Aku terkejut tak menyadari bahwa Elinda telah bangun dari tidurnya.

Lagi, kutatap dalam-dalam wajahnya. Ada banyak kenangan yang terekam dalam bola matanya, dan terukir semua kejadian kami di setiap lengkung bibirnya. Aku selalu teringat masa-masa itu, saat dimana ia lebih banyak mengeluarkan uang demi aku, dan ibunya tak pernah tahu. Dulu, banyak sekali tawa yang kami hasilkan, banyak suka cita. Tak peduli semua orang menganggap bahwa hubungan kami berat sebelah karena Elina lebih mendominasi. Sekarang, aku ragu kalau hubungan ini diteruskan aku akan semakin menderita karena merasa tak bisa membahagiakan dia.

“Sudah, lupakan Lin. Aku nggak nangis,” aku mengusap air mataku, segera berdiri dari tempatku. Rasanya mengirup udara laut akan lebih menenangkan.

Elina memegang lenganku segera. Memeluk tubuhku dari belakang seolah ia tak menginginkan aku pergi jauh darinya. “Kamu nggak usah memikirkan kita. Aku akan baik-baik saja selama itu bersamamu.”

Aku menghela napas panjang, membalas peluknya, kuusap lembut telapak tangannya yang kini berada diperutku. Aku membalikkan badanku, memegang mukanya yang mungil dengan kedua telapak tanganku, “Aku janji, aku janji, selama kamu bersamaku, sebisa mungkin aku akan jaga kamu. Aku janji aku akan selalu berusaha buat kamu bahagia,” ucapku lirih.

Perjuangan yang selama ini telah Elina tunjukkan kepadaku rasanya sangatlah tidak setimpal jika aku memiliki pikiran untuk berbuat apa yang selama ini sering ibunya tuduhkan kepadaku. Elinda tak sepantasnya mendapatkan balasan atas pelampiasanku terhadap ibunya.

“Iya, aku percaya sama kamu, kok,” dipeluknya lagi tubuhku.

“Kamu nggak ngantuk lagi?” tanyaku sambil membelai rambutnya.

“Nggak. Yuk lihat bintang lagi, sebentar lagi udah pagi, nanti nggak ada lagi bintangnya.” Dilepasnya pelukan pelan-pelan, lalu digamitnya lenganku. Kapal ini seperti milik kami sendiri, tak peduli tatapan penumpang lain yang memandang kami dengan sinis. Aku yakin mereka semua pasti iri dengan kemesraan kami.

Di luar, angin laut sudah tidak sedingin tadi, semburat cahaya fajar mengintip dari timur cakrawala, suara debur ombak semakin deras menghantam-hantam badan kapal.

“Sepertinya sebentar lagi kita sampai,” bisikku kepada Elina.

“Iya, itu sudah kelihatan lampu-lampu kotanya. Kamu siap, kan, kita mulai hidup baru?” dia tatap mataku penuh pengharapan.

Kapal dengan pelan merapat ke pelabuhan. Aku dan Elina bergegas turun dari kapal dan melangkahkan kaki keluar dari kapal. Aku mengarahkan mataku ke segala penjuru tempat. Mencoba mencari arah kemana kami akan melanjutkan perjalanan.

“Ini di mana sayang, kita sekarang mau kemana?” tanya Elinda kebingungan.

“Aku juga nggak tahu, yang pasti kita cari tempat tinggal dulu.”

“Sayang aku lapar,” ucap Elina.

“Ya sudah. Kita sekarang cari makan dulu ya.” Aku melihat wajah Elina yang tampak kelaparan.

“Kita ke sana aja,” aku menunjuk ke arah depan, menunjuk jauh.  Aku memakaikan jaket kulitku pada Elina, kami berjalan pelan meninggalkan pelabuhan. Elina hanya mengangguk, mengikuti saja apa yang dikatakan olehku. Aku segera berjalan menuju tempat yang tadi kutunjuk. Sejujurnya aku khawatir bagaimana kalau tempat tersebut tidak aman, bagaimana kalau ternyata kota ini tidak baik untuk kami jadikan tempat tinggal, tapi semua kekhawatiranku kututup rapat-rapat, biarlah aku sendiri yang merasakan ke khawatiran ini. Aku tak ingin melibatkan Elina.

Elina memilih makanan yang disajikan di warteg sederhana yang kutunjuk tadi. Menyendokinya ke dalam mulut dan menikmatinya.

“Tempat makan macam apa ini!?”

Kami sontak memutarkan badan kami. Suara yang tak asing lagi bagi kami, terdengar di telinga kami.

“Ibu!” Elina sesegara mungkin mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, memelukku erat seakan tak ingin dipisahkan lagi oleh ibunya.

“Elina… Elina, bahkan untuk makan saja kamu di ajak ke tempat yang seperti ini. Gambaran awal kehidupanmu bersamanya saja sudah seperti ini. Bagaimana  nanti Elina?”

Aku sangat terkejut dengan ucapan orang yang selama ini sangat menentang hubunganku dengan Elina. Bagimana bisa dia berada tepat di hadapan kami sekarang?

“Kenapa, kalian heran kenapa ibu bisa berada di sini? Ibu melacak keberadaan kalian melalui GPS yang ada di handphone Elina,” seraya membulatkan matanya, ibu berucap tegas.

Aku masih terdiam dalam pelukan Elina yang dengan eratnya tak mau melepaskanku. Tubuhku gemetar, jantungku berdegup kencang tak percaya Tante Ema telah ada di hadapan kami dengan membawa beberapa orang, di antaranya berpakaian Polisi.

Tante Ema menarik tangan Elina, memaksanya melepaskan pelukannya dariku. Aku melihat Elina menangis.

“Lepasin tanganmu dari dia Elina, ikut Ibu!” ucap ibu Elina dengan lantang. Sementara dua orang polisi yang dibawa Tante Ema membantu. Pelukannya terlepas, dengan segera tante Ema memisahkan kami, dan dua polisi itu memegang tanganku.

“Kamu kami tangkap dengan tuduhan membawa lari anak orang.”

“A… a… aku tidak membawa kabur dia, Pak,” ucapku terbata-bata.

“Ah, sudah. Kamu jangan banyak alasan. Tangkap aja dia pak polisi.” Tante Ema dengan emosi berkata demikian. Aku kemudian dibawa pergi oleh kedua polisi tersebut tanpa sempat melihat Elina.

Baru saja aku memasuki mobil polisi itu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Sepertinya berasal dari dua mobil yang berbenturan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Aku mengenali salah satu mobil yang berada di sana. Mobil hitam dengan nomor polisi B 3595 EF. Aku segera berlari keluar dari mobil polisi yang tak lama sebelum itu kumasuki, menyusul satu polisi yang tadi membawaku masuk berlari menuju ke tempat kejadian. Tak ada satu korban pun yang sadarkan diri dari kecelakaan tersebut. Puing-puing kaca mobil tersebar di sana. Kudapati Elina, ibunya, serta pak sopir yang biasa mengantar keluarganya kemana-mana bersimbah darah di bagian kepala.

Aku terduduk lemas. Tubuhku gemetaran. Dua polisi tak lagi memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku segera memegang tubuh Elinda. Mengguncang bahunya dengan keras agar dia sadar. Mataku terpejam.

“Yang… yang? Yang! Sayang kenapa?!” Kudengar suara Elina. Mataku sedikit berkabut karena air mata yang tidak dapat kutahan. “Abang melamun nih,” Elina mengagetkanku.

Aku menatap sekeliling. Tidak ada darah. Tidak ada orang-orang berseragam polisi. Tidak ada Tante Ema. Semua masih sama seperti saat kami turun dari kapal. Masih di tempat makan ini. Hanya yang berbeda, lampu-lampu jalan sudah mulai padam dan suasana lebih terang karena sinar matahari pagi. Melamun macam apa aku. Segera kupeluk erat tubuhnya.

“Setelah makan, kita langsung ngurusin pernikahan kita, ya, aku tidak mau ada hal buruk yang terjadi,” ucapku lembut pada Elina.

***

Dua bulan setelah kejadian mimpi burukku, akhirnya aku berada di depan  ribuan pasang mata yang tampaknya bahagia melihat aku duduk bersanding di pelaminan bersama Elina.
Kualihkan pandanganku pada orang tuaku, mereka tampak bahagia. Sama seperti tante Ema, tak terlihat raut wajah kekejaman seperti dalam mimpiku waktu lalu. Aku bernapas lega, menarik napasku dalam-dalam dan mencoba menghilangkan rasa gugup yang sedikit merasukiku hari ini.

Aku berdoa dalam hatiku di tengah-tengah sang penceramah melafalkan doa-doanya.
Aku tak ingin kehilangan kebahagiaan ini. Kebahagiaan yang terindah dalam hidupku.
Di akhir doaku, lafal amin juga terdengar diucapkan oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Aku tersenyum bahagia.

0

Senyum Leala

by

Putra ZamanGladish Rindra dan Masya Ruhulessin

Leala memulas gincu merah darah sebagai ulasan terakhir parasannya. Kulitnya yang pias jelas kontras disandingkan dengan bibir penuhnya. Satu sudutnya berjengit pada cermin. Setiap hari baginya adalah pentas, tak ada beda dengan Rabu ini. Ia meraih tas Anna Sui marun dan mengenakan kacamata hitam besarnya. Parfait. Beginilah wanita Perancis seharusnya bergaya.

Berlenggak menuruni lift kakinya melangkah. Menyapa resepsionis pria di lobi kondominium, yang tentu saja tak pernah absen untuk terperangah dengan kecantikannya.

“Bonjour, Boyce.”

“Bb… bbo… bonjour, Madmoiselle,” balas Boyce terbata.

Leala berlalu meninggalkan pria yang masih menganganga di belakangnya dengan seringai puas. Satu pria: takluk.

Tidak seperti biasanya Leala berlama-lama di depan kondominium. Ia terlihat menyipitkan matanya, menghalau sinar mentari yang datang begitu melimpah sore ini. Sesekali ia menengok ke sisi jalan memastikan apa yang dinantikan akan segera tiba. Raymond belum juga kunjung tiba. Tidak seperti biasanya, kini ia terlambat lima belas menit.

Sore hari depan kondominium tempat Leala tinggal sangat ramai. Untuk mengusir  rasa bosan yang mulai muncul, Leala membetulkan lagi riasannya. Orang-orang yang berlalu-lalang kebanyakan menatapnya dengan kagum, mungkin karena rona kecantikan yang begitu jelas. Lalu sebagian lainnya dengan tatapan aneh hingga menuduh. Entah apa yang mereka pikirkan, Leala benar-benar tidak peduli. Pentas malam nanti terlebih penting untuknya daripada sekadar menerjemahkan setiap aksara yang diciptakan sejurus pandang.

***

Sebuah Volkswagen keluaran terbaru merapat persis beberapa langkah di tempat Leala berdiri. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan mata biru langit cerah keluar dari sana. Gurat keriput di sisi mata dan dahinya menyiratkan bahwa ia adalah seseorang yang sudah tak lagi muda. Ia tersenyum dan berjalan cepat menuju Leala dengan membawa setangkai bunga mawar merah.

Leala tak membalas senyum sang lelaki. Ia hanya menatap mata lelaki itu dengan tajam.

Maafkan aku terlambat, Mon Cherry.”

Leala tak memedulikan permohonan maaf lelaki itu. Disambarnya kembang merah tanda cinta itu separuh menyentak, lalu lekas mendekat ke pintu mobil. Buru-buru Raymond membukakan pintu untuk sang Nona Manis. Leala masuk, pintu ditutupnya pelan.

“Jadi, bagaimana persiapan pentasmu malam nanti?” Raymond membuka perbincangan.

“Begitulah!” jawab Leala ketus.

“Ayolah, jangan begitu, baru kali ini aku terlambat,” rayu Raymond mencoba meluluhkan sikap Leala yang mulai tak bersahabat.

Leala tak menggubris bujukan Raymond. Begitulah dia, tak ada yang bisa membuatnya tersenyum kala dia sedang cemberut. Raymond sekalipun. Raymond telah pasrah, ia menyerah. Ia hanya fokus mengatur kemudi agar Leala nyaman selama perjalanan yang cukup jauh sore ini. Leala yang sejak tadi membuang muka, tak mengubah lengkung bibirnya.

Setibanya di tempat yang dituju, sang pria mengatur kemudi di pelataran parkir yang padat. Para penikmat teater berbondong, menikmati malam setelah penat memeras peluh. Akting Leala barang pasti tak perlu diragukan lagi. Leala hendak cepat-cepat turun dari mobil mewah itu, sebelum kemudian Raymond dengan cepat meraih tangannya. Leala batal berjengit dan mendengus kesal.

Mon Cherry, berhentilah cemberut,” rayu Raymond, mengusap pipi tirus kekasihnya.

“Ray, aku terlambat,” sergah Leala, sedingin stalaktit yang jatuh dari langit gua.

Lagi-lagi Raymond hanya mendesah pelan. Lebih pada menghitung kesabarannya.

Okay, Mon Cherry. Aku tunggu di backstage setelah kamu tampil dan kita akan dinner di restoran yang aku pesan.”

Leala hanya mengangguk.

“Oh ya!” Raymond berseru, teringat sesuatu.

“Aku sudah mentransfer uang ke rekeningmu. Katamu nenekmu sakit keras, kan? Aku juga sudah membelikan kondominium di dekat Sorbonne, tempat kuliahmu. Lebih besar dari yang kamu tempati sekarang. Kamu senang, Mon Cherry?”

Leala menghentikan langkahnya. Diangkat seluruh dagunya keposisi sempurna lalu membalikkan badannya seanggun mungkin ke arah Raymond. Ia menatap Raymond dengan tatapan mautnya yang dapat membuat lelaki mana saja bertekuk lutut.

“Aku tidak pernah mengharapkan bantuan sejauh itu, Dear! Aku bisa berusaha sendiri.”

Suara Leala terdengar begitu dingin hingga membekukan percakapan beberapa saat. Mereka berdua hanya saling memandang lama.

Mon Cherry, aku tidak pernah merasa terpaksa memberikan semua itu padamu. Bahkan itu merupakan suatu kebanggaan bagiku,” Raymond tersenyum. Sorot matanya menyuarakan ada kasih yang begitu tulus.

Well, kalau itu maumu, Dear! Aku ingin sekantong marshmallow sehabis pentas. Bisakah aku memperolehnya?”

“Anything for you, My Lady.”

Leala melangkah ke arah Raymond. Diraihnya tubuh kekar itu kedalam pelukannya. Aroma musk kini begitu lekat dalam penciumannya.

“Aku akan kembali sebentar lagi, Dear,” ujar Leala mesra. Ia mencium bibir Raymond singkat lalu berlalu menuju panggung. Ada senyum yang melengkung begitu lebar. Satu lagi pria takluk!

Raymond mematung sesaat. Diperhatikannya punggung kekasihnya yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu teater itu. Ia masih tersenyum, lalu ia masuk lagi ke dalam mobil dan melajukan lagi Volkswagen-nya.

***

Marshmallow, marshmallow. Di mana aku bisa menemukan marshmallow malam-malam begini, gumamnya dalam hati. Raymond benar-benar tak tahu harus ke mana mencari sekantung marshmallow permintaan Leala itu. Raymond tidak pernah suka marshmallow, tapi demi Leala, apa saja rela ia lakukan. Misalnya dengan malam-malam begini mencari sekantung marshmallow.

Leala telah usai memainkan perannya malam ini. Ia tersenyum ke arah penonton dan seketika ratusan pasang tangan memberi aplaus dengan meriah. Setelah memastikan senyumnya sampai di mata semua penonton, Leala segera kembali ke backstage. Dicarinya Raymond yang telah berjanji membawakan sekantung marshmallow di belakang panggung. Tapi tidak juga ketemu.

“Kau lihat Raymond?” tanya Leala ke salah satu kru pertunjukan.

“Tidak, sepertinya dia memang belum ke sini.”

Leala berdecak kesal. Lama sekali pria berumur itu untuk memenuhi permintaannya. Bahkan sampai rekan pentasnya satu-satu meninggalkan area teater, Raymond belum juga datang. Nyaris satu putaran jam dinding dia menunggu, hingga Raymond datang dan menyerahkan marshmallow dengan tawa lebar. Ia menyeringai puas.

Leala mengekor senyum. Berucap bangga padanya. Pada kesungguhannya, merta sejagad puji tercetus dari tenggorokannya, yang berakhir dengan kecupan selamat malam dan satu kunci kondominium baru yang Raymond selipkan di antara jemarinya.

Malam terlihat begitu indah. Raymond berhasil memulas pipi Leala dengan rona bahagia. Sayangnya, yang Raymond tidak tahu adalah malam itu adalah malam terakhir melihat Leala.

Esok malamnya, ia barulah menyadari Leala menghilang.

Raymond panik bukan kepalang. Rasa-rasanya ini luapan perasaan luar biasa melebihi segala bentuk kepanikan yang pernah dia alami. Ratusan pesan teks dan panggilan ke ponsel Leala sama sekali tak mendapat respons. Telah dicobanya mencari Leala ke segala sudut kota, ke tempat temannya atau ke bar-bar yang biasa dikunjunginya, namun hasilnya nihil. Tak ada seorang pun tahu kemana kekasih Raymond itu pergi. Leala seakan lenyap seperti ditelan bumi.

***

Pagi hari yang basah. Ada hujan yang begitu betah sedari malam di atap langit kota ini. Raymond terduduk dalam kamar tidur di kondomium Leala. Mukanya tampak begitu lusuh. Padahal sekarang seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya ia dan Leala sedang sibuk mengusung-usung barang pindah ke kondomium baru yang telah ia hadiahkan.

Raymond mengacak-acak rambutnya kasar. Tangannya kemudian meraih botol whiskey di atas meja kayu di sudut ruangan, lalu ditenggaknya berulang kali. Ia mencoba mereka-reka lagi di mana terakhir kali ia melihat kekasihnya itu. Mungkin saja kepanikan hari kemarin mengaburkan beberapa detail kecil. Tangannya mengetuk-ngetuk botol whiskey sambil sesekali membuang pandangan pada buramnya udara di luar. Beberapa saat berlalu, masih dalam ritme ketuk dan posisi padang yang sama, tiba-tiba Raymond tersentak kaget dengan sendirinya. Wajahnya seketika dipenuhi senyum kepuasan.

“Dia pasti ingin memberi kejutan!” gumam Raymond masih dengan senyumnya.

“Aku sudah bisa membacanya, Mon Cherry. Kau pasti ingin menghilang sebentar, lalu akan mengagetkanku dari belakang,” Raymond tertawa getir. Tapi kejutan untuk apa? Ulang tahunku masih lama, pikir Raymond.

Sepagi ini Raymond telah dibuat pusing oleh kekasihnya itu. Dia terus mencari-cari alasan yang paling logis yang membuat Leala menghilang tiba-tiba. Tapi yang dia dapat hanyalah jawaban-jawaban aneh dan tak masuk akal yang berputar-putar di pikirannya. Raymond merutuk sendiri. Diraihnya telepon seluler di atas tempat tidur dan ditekannya beberapa angka.

“Selamat pagi, apakah ini benar dengan kantor polisi wilayah?”

“…” sesaat Raymond membisu mendengarkan apa yang dikatakan lawan bicaranya.

“Saya ingin melaporkan sebuah berita kehilangan.”

***

Leala menenggak martini-nya lamat-lamat, sambil menikmati irama Beethoven. Italia tak pernah berhenti menggoda, pun pesta dengan kaum ekspatriat. Ia selalu punya cara untuk menyusup ke dalamnya, di mana pun, di belahan dunia mana pun.

Mata kirinya menelisik cairan merah di gelasnya. Benaknya tertuju pada gelondongan uang dengan jumlah entah berapa angka nol di belakang, dalam rekening banknya. Kemudian cek hasil penjualan kondomidium yang baru saja diterimanya sesaat sebelum dia meninggalkan Perancis.

“Raymond tua yang malang atau aku yang terlalu lihai?” bibirnya menyeringai.

Hey, Bella Signora.”

Leala berbalik, menatap sang empu suara dengan tanda tanya. Tentu saja, seorang Leala tak akan gagal mengusik gairah pria mana pun. Pun dengan pria muda di depannya. Bibirnya melengkung.

“Bouna noette, Signore.”

Pria dengan setelan snelli itu menawarkan segelas red wine, mengganti gelas martini Leala yang tandas.

“Chi è il tuo nome?  (Siapa namamu?)”

Leala terkekeh kecil. Tawa malu-malu yang memikat.

Campbell, Signore. Leala Campbell.

Satu pria lagi siap ia taklukkan.

Note:
Parfait: Sempurna;
Bonjour: Selamat Sore;
Madmoiselle: Nona;
Mon Cherry: Sayangku;
Bella Signora: Nona Cantik;
Bouna noette: Selamat Malam;
Signore: Tuan.

0

Agonia

by

Teguh Puja

.

Aku tak ingin berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti keberanian memuncak memenuhi dadaku. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti ketakutan ini hilang. Dalam diam, di tengah gejolak perasaan yang menderu-deru dan mencoba keluar dari dalam dada. Aku mulai segera mengerti bagaimana rasanya berada di tengah palung menuju alam bawah sadar. Aku dapat mencium aroma kehidupan yang sebentar lagi akan segera memudar. Aku akan segera memudar, hilang, menyatu bersama angin malam.

Nyeri di sendi-sendi tubuh tak lagi aku pikirkan, sebentar lagi nyeri dan kepahitan yang ada di dalamnya akan segera lenyap. Meski aku tak tahu di bibir pintu mana nanti aku akan diantarkan oleh sang malaikat penjaga, entah surga atau neraka yang akan menjadi terminal pemberhentian terakhirku, aku tak tahu dan juga tak ingin menerka-nerka. Tak ingin menjadi orang fasik yang menghitung-hitung pahala tanpa berpikir mengenai dosa yang telah dilakukan, tak mau juga mengakui sebagai orang kafir yang jelas baginya neraka hanya karena aku tak ingat lagi apakah sudah pernah berbuat baik atau tidak selama di dunia. Tak berhasrat juga untuk memproklamirkan kepada dunia sebagai orang alim nan mulia yang tak pernah mencatatkan dosa di dalam buku suratannya. Aku tak ingin menjadi apa pun. Karena tak ada juga hal yang bisa kulakukan, penghakiman nantinya biarlah Tuhan saja yang berikan, aku tak perlu memikirkan panggilan apa yang pantas melekat dalam diriku setelah semua ini selesai.

Semilir angin semakin merengkuhku jauh dari dunia nyata menuju kedamaian yang aku damba. Tak lagi ingat dengan hangatnya pelukan yang pernah kurasa. Hanya kegamangan yang menghampiri. Ketakutan dan kekhawatiran masih membayangi, membebat keraguan dalam dada, menghantarkannya ke dalam kepala. Meraba-raba tentang luka yang akan muncul setelah aku tiada.

Akan tetapi dan hanya ada tetapi, rasa ngilu yang terlintas dalam pikiranku tak mampu menghentikan inginku untuk disambut oleh ia tanpa ragu, tanpa harus lagi-lagi menjadi penyakitan. Demi Tuhan. Keinginan itu terus menguat. Aku ingin bersegera menyambut kematian itu lebih cepat, tak perlu aku menunggu lebih lama lagi dalam derita tak berkesudahan.

Aku tak ingin berkedip hingga tiga puluh detik pertama, menanti keberanian memuncak memenuhi dadaku. Setelahnya menutup masing-masing kelopak mata perlahan, masih menanti ketakutan ini hilang. Dalam sunyi, di tengah gejolak rindu yang berdesakan dan mencoba keluar dari dalam dada. Aku mulai segera memahami bagaimana rasanya berada di bibir pintu menuju alam bawah sadar. Aku dapat merasakan aroma rindu yang menguar di udara. Rindu yang belum tersampaikan dari cinta gadis yang menanti kehadiranku di desanya.

*

Aku tak lagi punya kuasa apa-apa, di bibir pintu di antara neraka dan surga, yang tersisa hanyalah air mata. Tetesan itu menyeruak menganak sungai keluar dari lingkar mata. Isak tangis ini tak kutujukan untuknya, melainkan untuk diriku sendiri. Jika harus kueja setiap kebaikan dari ia yang selalu menungguku dengan setia di sana, aku mungkin tak akan sanggup lagi melakukannya. Bertahun-tahun yang lalu aku meninggalkannya. Mencari uang dan penghidupan yang layak, itu alasanku dulu. Kulakukan itu dan memang aku bekerja begitu keras untuk mewujudkannya. Satu tahun, dua tahun, semuanya menjadi begitu nyata, hasil kerja kerasku berbuah juga. Semua hasil keringatku mendatangkan kekayaan dan gelimang harta yang tak ada habisnya. Aku menjadi sejahtera, namun itu pula yang membuatku lupa.

Awalnya hanya mencoba-coba, tapi ternyata aku tenggelam juga dalam dunia yang awalnya tak pernah aku kira ada. Aku tersurut ke dalam arus yang putarannya terasa begitu kuat, aku tak bisa menghirup nafas dunia seperti biasanya, hidupku hanya bisa kuhabiskan untuk menikmati kebahagiaan semu dari kapsul-kapsul kecil yang kudapatkan setiap malamnya.

Surga. Neraka. Seperti losmen yang bisa kudatangi kapan saja. Aku bisa memasukinya kapan pun, dan keluar dengan mudah juga, tanpa harus melewati malaikat-malaikat penjaga. Surga dan nerakaku ini bisa kurengkuh dengan genggamanku dimana pun aku inginkan. Tak terhitung lagi berapa bidadari yang datang silih berganti. Bahkan bidadari pun tak perlu lagi kutunggu kedatangannya, ia bisa kuminta untuk menemaniku.

Begitu seterusnya hingga semuanya hilang meninggalkanku sendiri. Hartaku habis dan tak lagi bersisa. Hanya pesakitan yang akhirnya menjadi akhir dari segalanya. Aku terjebak dalam surga dan neraka yang aku buat sendiri.

*

Nyeri di sendi-sendi tubuh tak lagi aku pikirkan, sebentar lagi nyeri dan kepahitan yang ada di dalamnya akan segera lenyap. Meski aku tak tahu di bibir pintu mana nanti aku akan diantarkan oleh sang malaikat penjaga, entah surga atau neraka yang akan menjadi terminal pemberhentian terakhirku, aku tak tahu dan juga tak ingin menerka-nerka.

Tak ingin menjadi orang fasik yang menghitung-hitung pahala tanpa berpikir mengenai dosa yang telah dilakukan, tak mau juga mengakui sebagai orang kafir yang jelas baginya neraka hanya karena aku tak ingat lagi apakah sudah pernah berbuat baik atau tidak selama di dunia. Tak berhasrat juga untuk memproklamirkan kepada dunia sebagai orang alim nan mulia yang tak pernah mencatatkan dosa di dalam buku suratannya.

Aku tak ingin menjadi apa pun. Karena tak ada juga hal yang bisa kulakukan, penghakiman nantinya biarlah Tuhan saja yang berikan, aku tak perlu memikirkan panggilan apa yang pantas melekat dalam diriku setelah semua ini selesai.

Dan sepertinya ini memang jalan terbaik untukku.

Mati.

Aku biarkan tubuhku melayang, sembari menunggunya bertumbuk dengan bumi. Kedua kelopak mataku tertutup. Semilir angin merengkuh setiap nafas pendek yang keluar, aku pasrah. Aku masih dapat merasakan aroma rindu yang menguar di udara. Rindu yang belum tersampaikan dari cinta gadis yang menanti kehadiranku di desanya.

Maaf untuk ketidak-hadiranku dan untuk setiap kesalahan yang pernah kuperbuat kepadamu dulu. Aku telah banyak berdosa dan tak lagi pantas hidup di dunia. Semoga satu saat, Tuhan, masih berkenan menghantarkan hadirmu nanti ketika kita bertemu di akhirat sana. Bila akhirnya harus kulewati neraka terlebih dahulu dan menjalani ribuan tahun yang akan menjadi ganjaran perbuatanku kini, kan kulakukan itu. Setidaknya, kan kulakukan itu, untuk permintaan maaf yang belum kuminta darimu kini. Maaf karena telah mengecewakanku.

Dan pada tiga puluh detik selanjutnya, tak lagi bisa kurasakan apa-apa. Hanya kegelapan dan kesunyian yang menyambutku. Aku telah tiada. Tak lagi bisa bercerita apa-apa.

0

Pesawat

by

Iin Indriyati

.

Aku berada di pesawat dari Denpasar menuju Jakarta. Setelah mendengar berita kecelakaan Lion Air kemarin sore, aku sedikit was-was untuk naik pesawat. Ditambah lagi dengan hujan lebat yang mengguyur kota ini disertai angin dan guntur yang menggelegar sejak subuh.Untunglah, sampai di bandara Ngurah Rai hujan reda. Mendung masih menggantung. Mudah-mudahan perjalanan lancar sampai tujuan, gumamku dalam hati. Tak ada delay untuk penerbanganku. Syukurlah. Kalau delay, rencanaku bubar semua.

Pilot sudah memberitahukan bahwa sebentar lagi pesawat take off. Jadi para penumpang diminta untuk mengencangkan sabuk pengaman dan mematikan ponsel. Penumpang di sebelahku mulai berdoa. Ah, buat apa berdoa, pikirku. Kuambil majalah dan mulai membaca. Pesawat mulai terbang dan melayang di udara. Cuaca masih mendung. Pesawat agak berguncang-guncang. Orang di sebelahku semakin khusyu berdoa. Untuk apa berdoa seperti itu? Pastilah selamat. Sekarang kan sudah canggih, kataku dalam hati.

Orang di sebelahku sudah melepaskan seat belt-nya. Lho.. tandanya kan masih menyala. Aku ingin memberitahukannya tapi lidahku kelu. Tidak ada satu pun kata keluar dari mulut ini. Lima belas menit sejak take off, tanda seat belt masih menyala. Aku melirik bangku depan dan sebelah kanan gang kursi penumpang. Kenapa tanda seat belt mereka sudah mati? Orang yang berada di sebelah kananku sudah membaca buku. Bahkan orang yang berada di sebelahnya lagi sudah berdiri dan berjalan menuju toilet. Awak pesawat sudah membawa-bawa troli makanan.

Kenapa tanda seat belt di depanku masih menyala? Kenapa hanya punyaku? Kurasakan guncangan pesawat. Di luar langit masih mendung. Aku melihat keadaan di dalam pesawat. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa. Tapi mengapa aku merasakan guncangan begitu keras? Akhirnya aku memutuskan untuk berdoa, kegiatan yang tadi kucemooh. Tapi tak satu pun doa kuingat. Sudah lama aku tidak berdoa. Aku mulai cemas. Aku membayangkan jika pesawat ini jatuh, sudah pastilah aku hancur. Aku mengumpulkan ingatanku. Ingatan tentang doa-doa dan ayat-ayat suci yang pernah aku baca dan hafalkan. Dulu, dulu sekali ketika aku kecil. Ya Allah, tidak ada yang kuingat sedikitpun. Aku pejamkan mataku. Konsentrasi Renata, konsentrasi. Kamu pasti bisa, kumotivasi diri sendiri. Keringat mulai bercucuran. Kecemasan semakin meningkat. Guncangan tak sekalipun mereda. Bahkan semakin keras. Aku tidak berhasil memanggil kembali ingatanku tentang doa-doa dan ayat-ayat suci. Aku pasrah. Kusebut-sebut nama Tuhanku. Ya, hanya nama Tuhanku yang aku ingat. Aku mulai menangis. Ada ketakutan yang amat sangat. Kusebut-sebut nama Tuhan, pencipta diriku dan alam semesta. Aku menangis karena terbayang dosa-dosaku. Betapa aku selama ini melupakan diri-Nya.
Pasrah. Sekarang aku pasrah. Apa pun yang terjadi, kuserahkan hidupku pada-Nya. Ketenangan mulai kurasakan. Kulihat sekeliling. Tidak ada keanehan, kepanikan, kecemasan. Semua tenang. Kenapa hanya aku saja yang merasakan? Kupejamkan mataku. Kusebut nama Allah. Guncangan kurasakan mulai berkurang. Pesawat tenang kembali. Kubuka mataku. Matahari mulai muncul di balik awan. Aku mengucap syukur tak henti-hentinya. Kuusap air mataku. Ya Allah, apa yang terjadi denganku? Kuedarkan pandangan. Semua berjalan seperti biasa. Tenang. Orang-orang dengan aktivitasnya masing-masing. Awak pesawat masih berkeliling menawarkan makanan dan mengantarkan pesanan. Apa yang terjadi padaku? Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Namun, aku mengerti bahwa aku tidak bisa melawan Tuhan.
2

Menakar Emosi dalam Cerita

by

Teguh Puja

.

Berbicara mengenai bahasa dan ciptakarya yang bisa lahir daripadanya, bahasa punya kekuatan yang dahsyat, dalam upayanya membuat seseorang menjadi tegar, kuat atau bahkan merasa simpatik dan sedih dalam waktu bersamaan. Bahasa punya kekuatan, karena dari sana kita bisa kemudian menghayati dan merasakan ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan emosi yang lahir daripadanya. Senang, sedih, bahagia, sengsara, dan emosi lainnya, semua bisa tersampaikan melalui perantara bahasa.

Berkaitan dengan itu, apakah kemudian penulis cerita bisa bermain dengan emosi yang nanti akan dirasakan oleh pembacanya? Kemungkinan itu sangatlah besar, ya, itu akan terjadi, mewujud menjadi nyata, bila penulis itu tahu dengan baik bagaimana sebaiknya ia memanfaatkan emosi yang ada, dalam detail-detail di ceritanya, agar pada akhirnya, itu bisa berefek luas dan mendalam bagi pembacanya. Bagaimana caranya?

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar plot yang kita bangun tidak saja menjadi menarik, tetapi juga sesuai dengan logika cerita, dan tidak melebar ke mana-mana sehingga kehilangan fokus atau maksud cerita; semua ini dilakukan agar tujuan kita untuk membangkitkan emosi dari pembaca itu bisa terasa. Kali ini, kita akan sama-sama belajar dan mengambil catatan penting dari buku William Kenney, How to Analyze Fiction. Kenney mengemukakan beberapa hal yang berkaitan erat dengan plot, di antaranya mengenai plausabilitas (plausability), adanya unsur rasa ingin tahu (suspense), kejutan (surprise), dan kesatupaduan (unity).

a) Plausabilitas

Plausabilitas bisa kita artikan atau kita pahami dengan pemaknaan: suatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita. Plot sebuah cerita pada galibnya harus memiliki sifat plausibel atau dapat dipercaya oleh pembaca. Pengembangan cerita yang tidak plausibel dapat membingungkan dan meragukan pembaca.

Sebuah cerita bisa kita katakan memunyai sifat plausibel jika tokoh-tokokh cerita dan dunianya dapat kita imajinasikan dan jika para tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan di sepanjang tulisan dapat terjadi. Kita bisa mempertanyakan ini ketika sudah selesai menulis: Apakah jika seseorang berada dalam persoalan dan situasi seperti yang dialami tokoh cerita akan bertindak seperti yang dilakukan tokoh itu? 

Misalnya saja, mungkinkah seorang tokoh cerita yang mengalami keterbelakangan mental mampu menjawab soal-soal pertanyaan dalam olimpiade fisika? Atau mungkinkah seorang tokoh cerita bisa bertahan melalui banyak hal yang menderanya tanpa kita haturkan di dalam cerita kita detail-detail yang menunjukkan apa-dan-siapa saja yang mampu membuat tokoh cerita itu kuat bertahan?

Dalam sebuah cerita fiksi, mungkin saja kondisi pertama yang dipaparkan itu bisa saja terjadi, namun tentunya hal ini sangat tidak bisa dipercaya, oleh sebab itulah cerita yang dibuat akhirnya tak memiliki sifat plausibel.

b) Suspense

Suspense bisa kita artikan atau kita pahami dengan pemaknaan: adanya satu perasaan semacam kurang pasti mengenai peristiwa-peristiwa yang akan terjadi; khususnya yang menimpa tokoh protagonis atau yang diberi simpati oleh pembaca.

Sebuah cerita yang baik tentunya diharapkan mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. Seperti yang sudah pernah dituturkan di beberapa tulisan sebelumnya, kita juga bisa ikut menghadirkan ‘pity’ dan ‘fear‘ yang kita tujukan untuk mengangkat emosi yang kita tuliskan agar bisa juga dirasakan oleh pembaca.

Lebih jauh mengenai suspense, suspense tidak semata-mata hanya berurusan dengan ketidaktahuan pembaca, tetapi lebih dari itu, mampu mengikat dan mengajak pembaca seolah-olah terlibat dalam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan dialami oleh tokoh cerita. Suspense ini yang nantinya akan mendorong, menggelitik dan memotivasi pembaca untuk ikut serta dan menjadi ‘setia’, mencari jawaban dari rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita.

c) Surprise

Plot sebuah cerita yang menarik tidak saja harus mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, tetapi juga mampu memberikan kejutan atau ketakterdugaan. Itu bisa kita aplikasikan dengan menuliskan akhir atau pelengkap cerita yang bisa kita belokkan atau kita ubah sesuai dengan yang kita kehendaki.

Beberapa terkadang menyebut unsur surprise ini dengan kata ‘twist‘ atau pembelokkan cerita. Unsur yang satu ini akan menjadikan cerita yang kita buat berkembang dan berubah signifikan di mata pembaca jika kita bisa menempatkannya dengan proporsional dan pas.

d) Unity (kesatupaduan)

Plot yang kita buat akan menjadi satu dan padu ketika akhirnya kita bisa dengan kuat dan juga bermain cantik menghadirkan detail-detail dalam cerita yang bisa mengajak pembaca mengikuti garis benang merah yang kita siapkan dalam tulisan kita. Benang merang ini menjadi penting agar semua aspek cerita yang kita buat dapat terasa sebagai satu kesatuan yang utuh dan padu; dan tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri.

Ketika kita bisa menghadirkan unsur yang ada dalam plot ini dengan tepat; kita bisa dengan pintar menakar emosi yang kita lahirkan dalam cerita. Apakah mudah? Tentunya ada kesulitan dan kesukaran sendiri juga dalam mengaplikasikan semua unsur itu dalam tulisan. Namun, pembiasaan dan eksplorasi yang berkelanjutan pasti akan menjadikan kita menjadi handal dalam hal ini. Saya percaya itu.

Emosi yang Samar

Pernah satu kali salah seorang sahabat, bertanya mengenai perihal ‘emosi’ dan ‘samar’ ini. Apakah maksud dari tulisan atau letupan emosi yang kita rasakan harus benar-benar kita ungkapkan dengan jelas tanpa menyamarkan apa yang kita coba tawarkan kepada pembaca? Apakah semuanya harus sepenuhnya dituliskan apa-adanya?

Bagaimana seharusnya? Pada hakikatnya, tidak ada ketentuan pasti mengenai itu. Dalam artian, apakah perlu kita menuliskan sesuatu apa-adanya tanpa berusaha menyamarkannya? Itu semua bergantung kepada kehendak penulisnya. Bila kemudian penulisnya merasa akan lebih baik untuk menampilkan apa-adanya maksud yang ia ingin sampaikan, maka itu bisa dipilih. Begitu pun juga sebaliknya.

Namun, saya termasuk yang lebih senang menuliskan maksud yang ingin saya sampaikan dalam tulisan yang ‘samar’. Mengapa seperti itu? Karena emosi yang mengalir dari ‘kesamaran’ cerita itu justru terasa lebih kuat untuk saya pribadi. Samar di sini jangan kemudian disalah-artikan menjadi tulisan yang kabur atau malah menjadikan cerita yang dibuat ambigu/tak jelas. Tapi lebih ke ‘tersembunyi’ dan memerlukan pembacaan yang lebih dalam. Saya lebih senang mengajak siapa pun pembaca saya, untuk tidak sekedar membaca sekilas apa yang tertulis. Saya justru berkeinginan agar pembaca menafsir lebih jauh mengenai apa yang saya tuliskan. Itu sangat menyenangkan dan juga ‘risky‘ pada waktu bersamaan.

Satu waktu saya pernah menuliskan mengenai fenomena ‘keperawanan’ yang kemudian saya tuliskan dengan menggunakan penyimbolan tertentu dari yang ingin saya tuliskan. Bila pembaca teliti melihat dan menafsir maksud yang saya sampaikan, tentu cerita yang saya buat tidak akan sekadar dimaknai dan dibaca ‘apa-adanya’.

Sepertinya ini sudah menjadi tahun kedua semenjak aku berdiam diri dan menunggu disini.

Hiasan yang sudah kupersiapkan selama ini masih saja belum sepenuhnya menarik siapa pun untuk menghampirinya. Aku juga sudah sangat bosan menunggu. Adakah yang salah dengan ruangan yang kuhias sekarang? Apakah mereka tidak menyukainya? Ranjangnya kuat; aku bisa jamin itu, kasurnya pun masih sangat nyaman untuk digunakan, seprai yang kupakai pun masih sangat bersih, putih, tanpa ada noda sedikit pun. Lalu mengapa masih saja tidak ada seorang pun menghampirinya?

Jika ada seseorang bertandang ke depan rumahku, aku akan berjalan perlahan mendekati pintu dan melihat melalui celah kecil yang kubuat di tengahnya. Aku bertanya-tanya, akankah ia masuk ke dalam dan akhirnya menemaniku? Dan setelah lama menunggu, ia kembali pergi meninggalkan rumahku, seperti tak tertarik dengan rumah yang berada di depannya. Aku jelas kembali kecewa.

Lain waktu datang lagi seseorang; dari penampilannya, aku tahu ia seorang yang menjaga dirinya sebegitu rupa. Berulang-ulang kali kulihat ia membersihkan debu-debu di tempat yang ia kira telah mengganggu penampilannya. Berulang-ulang juga aku harus menggosokkan tanganku di mata. Aku mulai merasa risih sendiri melihatnya. Penampilannya memang sangat bagus, tapi entah mengapa aku malah mulai tak tertarik melihatnya. Kutinggalkan celah kecil di pintuku dan kembali menunggu. Biarlah rumahku hanya diisi oleh mereka yang sempurna.

Beberapa. Pernah berucap kepadaku.

Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa berbeda kala itu dinikmati bersama ia yang pertama. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa sensasinya kala itu dilakukan bersama ia yang sudah terbiasa. Beberapa, mengatakan, sentuhan, rabaan, desahan, dan juga ciuman, akan terasa seperti hadiah dari surga kala itu didapatkan bersama ia yang selalu siap memberikannya.

Beberapa. (Noda)

Di lain kesempatan lain, ketika berkolaborasi dengan adik saya, saya juga berusaha untuk tidak menampilkan secara apa-adanya tulisan yang kami buat. Itu semua, kembali, kami tujukan agar ini tidak dimaknai ‘oh, begitu‘ saja.

Di Rumah Terakhir, kami menulis.

lepaskan ceritaku
lepaskan rajutan asa yang pernah aku beri
pupus semua dengan air matamu
hapus dengan ketenangan hati

sudah aku jaga
tapi tak jua kita temukan rasa
sudah aku gali
tapi tak pernah jua terjadi

ijinkan jika ini menenangkanmu
akan aku kemas kembali nanti
dan ijinkan aku mati
agar aku takkan melihat air itu lagi

segala sesuatu yang aku lakukan tertuju padamu
meski aku takkan lagi ada di sampingmu
akan tetap aku lihat hidupmu
dan kan kusimpan cinta di relungku

Di depanku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat nanti aku akan kembali. Terhampar petak-petak rumah kecil berukuran sedang, kokoh, menjulang gagah, bersama rerumputan kecil yang ada di sekitarnya. Warna rumah mereka terlihat seragam, tak begitu berbeda dengan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Warna awalnya putih, namun mungkin karena sudah begitu lama tersirami air hujan, warnanya berubah sedikit berbeda, terlihat kasar, dengan beberapa noda yang mulai mengubah warna dasarnya menjadi terlihat aneh.

Di hadapanku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat aku mendamba temu terakhirku. Terlukiskan jelas wajah orang-orang yang berada di sekitar rumah-rumah itu, penuh dengan kepedihan. Seperti tercerabut akar-akar kegembiraan dari hatinya. Hanya hitam yang mendominasi rangkaian rindu yang mereka bawa. Hanya hitam yang menelan kerinduan mereka, menjadikannya isak tangis yang tak terhenti lagi, berubah menganak sungai, menjeritkan ketiadaan.

Di sekitarku, terhampar padang rindu yang menjelma menjadi rumah; tempat aku membenamkan rindu di atas tanahmu. Ya, tanah yang kembali menjadi bagian dari dirimu. Tanah yang kembali mengingatkanku lagi bahwa kamu tak lagi ada.

Menjadi pembaca juga tentunya tugas ‘tak tertulis’nya bukanlah hanya sekadar membaca. Karena tentunya ada harapan tertentu juga yang ingin dipenuhi. Pembaca ingin mendapatkan ‘chatarsis‘ atau pelepasan emosi yang berbeda dari sebelum dan setelah ia membaca. Bila kemudian kita telah memposisikan diri menjadi pembaca yang ‘mengerti’, tentunya apresiasi kita terhadap tulisan apa pun akan menjadi berbeda.

Di akhir, kita bisa mengambil simpulan sederhana bahwa emosi, disadari atau tidak, adalah satu dari sekian unsur yang punya peranan penting dan sentral dari setiap cerita, maka apabila kita bisa menggunakan potensi itu dengan sebaik-baiknya, tentu hasilnya akan menjadi luar biasa.

Dan sebagai penutup, seperti yang sering disampaikan di beberapa kesempatan sebelumnya, menulis itu menyenangkan, dan tentu akan lebih menyenangkan lagi apabila kita punya pengetahuan mengenai apa yang kita tuliskan. Mari tetap berkarya dan menikmati proses kreatif setiap ciptakarya itu semaksimal dan seoptimal yang kita bisa.

0

Snow White: Not a Fairy Tale

by

Jusmalia Oktaviani

.

“White, kamu tidak apa-apa? White! White!”

Suara Nathan yang memanggil-manggil namanya menggema di telinga Snow White. Tapi Snow tak mampu membalas meski hanya dengan satu kata. Lehernya terasa tercekik. Racun dari apel yang dimakannya menjalar cepat, dan Snow merasakan panas yang merambati leher dan paru-parunya, bagaikan api yang tersiram bensin. Snow merasakan paru-parunya lumpuh. Ia tak mampu lagi mengambil nafas. Tanpa oksigen yang mengaliri otaknya, gelap segera menyelubungi Snow.

*

Sebelum memakan apel beracun itu, Snow sebenarnya sudah tahu bahwa ia pasti akan celaka. Lebih tepatnya, ibu tirinya akan melakukan apa saja untuk mencelakainya. Semua hanya menunggu waktu, Snow pernah berkata pada Nathan.

Nathan mengguncang-guncangkan tubuh gadis itu. Masih berusaha memanggil nama Snow White, seakan gadis itu akan terbangun dari kematian. Tapi tidak kali ini.

“Sudahlah, Nak.” Tangan kecil kepala keluarga Logan menyentuh tangan pria itu, mengingatkan bahwa yang dilakukan Nathan sia-sia. Snow White takkan kembali.

Nathan memandang keluarga Logan, sang kepala keluarga, istrinya, dan lima anak mereka yang kesemuanya bertubuh mungil karena menderita dwarfisme. Meski fisik mereka tak seperti manusia normal, namun keberanian dan hati yang mereka punya jauh lebih besar dari siapapun. Mereka mau menampung Snow White, meski mereka tahu, ibu tiri Snow, Rowena, bisa dengan mudah mencelakakan mereka. Mereka sendiri mengasingkan diri ke hutan terpencil ini karena tahu bagaimana rasanya diperlakukan semena-mena oleh lingkungan bahkan keluarga yang mereka cintai, hanya karena mereka ‘berbeda’. Dan melihat Snow yang kini bernasib serupa, dimusuhi oleh ibu tirinya sendiri, membuat keluarga Logan memilih menampung dan menyelamatkan Snow.

Dibantu Nathan, keluarga Logan meletakkan tubuh Snow di atas meja. Tubuhnya membujur kaku. William Logan, sang kepala keluarga, merapikan tangan gadis itu di atas dada. Air mata mengalir di pipinya. Meski baru beberapa waktu bersama keluarga Logan, William mencintai Snow White, layaknya anak kandungnya.

“Ia selalu di hati kami,” Jean Logan, sang istri, meletakkan karangan bunga di tubuh Snow White. “Dan ia akan selalu jadi bagian dari keluarga ini.” Nathan tersadar, ia tak sendiri dalam merasakan kesedihan. Keluarga ini juga sama berdukanya untuk gadis yang disayanginya itu. Semenjak mereka menemukan Snow tersungkur di hutan dekat pondok mereka, keluarga Logan sudah menyayangi Snow.

Satu per satu, anak-anak Logan juga memberikan penghormatan terakhir pada Snow. Kemudian mereka meninggalkan Nathan dalam ruangan itu, menyengajakan Nathan berdua bersama Snow White untuk terakhir kali.

“White…White…” Nathan mengangkat setengah tubuh Snow White, membawa raga gadis itu dalam pelukan Nathan. Nathan mendekatkan wajah Snow padanya. Ia ingin memberikan ciuman pertama sekaligus terakhirnya pada gadis itu. Sementara itu, tanpa Nathan inginkan, memori-memori Nathan bersilangan, teringat akan kejadian-kejadian yang membawa Snow White di penghujung hidupnya kini.

*

Nathan teringat pada sosok Snow White yang baru saja mengabarinya sebuah berita mengejutkan. Mereka berada di padang rumput belakang rumah megah keluarga White. Sinar matahari pagi menghangatkan dua bocah berumur sepuluh tahun itu. Keduanya duduk bersantai di atas rumput sambil mengawasi hamparan pertanian luas yang merupakan milik ayah White. Ayah Snow, Carl White, memang pengusaha yang berhasil, dengan berpetak-petak tanah pertanian yang luas, beberapa kepemilikan properti, dan kini, ayah White sedang berusaha meraih tampuk kepemimpinan Walikota di daerah ini.

“Coba tebak?” Pipinya bersemu kemerahan dan senyumnya terkembang. White tampak bahagia. “Aku akan punya ibu, Nathan.” Ibu kandung White memang sudah lama wafat karena sakit.

“Maksudmu, ayahmu akan menikah lagi, White?” Nathan terkejut. Meski akrab, Nathan telah terbiasa memanggil Snow dengan nama belakangnya, atau ayah dan ibunya akan memarahinya. Orangtua Nathan adalah pegawai Carl White. Jadi, bagi keluarga Nathan, keluarga White seperti majikan mereka yang harus dihormati.

“Ya, bulan depan, mungkin.”

“Kamu tidak takut?”

“Takut apanya?”

“Kamu akan punya ibu tiri, dan seperti cerita dalam Cinderella, ibu tiri biasanya jahat.” Nathan memasang tampang menakutkan, yang disambut tawa geli gadis itu.

“Rowena tidak punya anak. Jadi, aku tak punya dua saudari tiri yang menakutkan. Lagipula, Rowena kelihatannya baik. Dia juga cantik.” White berkata. Ia sama sekali tak khawatir. ”Dan, selama ada ayahku, semua akan baik-baik saja, kan?

Nathan hanya menggumam, “Yeah.”

Kemudian keduanya kembali diam membiarkan mentari menghangatkan. Suasana begitu tenang dan damai. Namun semua itu tak berlangsung lama. Mereka tak sadar bahwa kehadiran ibu tiri itulah yang akan mengubah hidup Snow White selamanya.

*

“Sudah kau awasi anak itu?” Rowena mendelik pada pelayan setianya, Dante. Lelaki yang ditanya itu mengangguk kecil sebagai jawaban. Ia memang bukan tipe yang banyak bicara, kecuali ditanya. Dante bertubuh kecil, namun ia jelas mempunyai pikiran yang tajam. Ia sering dimintai nasehat oleh Rowena. Mungkin karena hanya Dante yang tahan menjadi pendengar bagi nyonya besarnya itu. Meski sebenarnya Dante tak menyukai tabiat majikannya yang licik, namun Dante tak menolak keuntungan dari yang diraih Rowena nanti jika berhasil menguasai seluruh harta keluarga White. Balasan atas kesetiaannya pada Rowena sepuluh tahun ini.

“Kita tak boleh membiarkannya sampai lolos, kamu tahu itu.”

Dante kembali mengangguk. Kalimat yang mungkin diucap oleh Rowena selama hampir enam tahun terakhir ini adalah segala hal yang berhubungan dengan Snow White, anak tirinya, yang dijaga dengan ketat dalam rumah ini. Gadis itu bagai burung yang terkurung dalam sangkar emas. Ia mendapatkan banyak hal, tapi tidak dengan kebebasannya.

“Bagaimana keadaan terakhirnya?” tanya Rowena.

“Pagi tadi dia belum berubah. Selalu berteriak dan histeris melihat saya. Dia masih ngotot, meyakini bahwa Nyonya adalah pembunuh ayahnya, dan bersumpah akan membocorkannya jika suatu saat bisa kabur dari rumah ini.” Dante menjawab.

“Oleh karena itu, dia tidak boleh sampai kabur. Karena kamu tahu, aku memang membunuh ayahnya. Sayang sekali, anak itu menyaksikan bagaimana aku memasukkan racun sedikit demi sedikit setiap hari ke minuman ayahnya, membuat ayahnya mati perlahan…” Rowena membuang pandangannya ke luar jendela, memandang ke seluruh rumah, tanah yang sebenarnya sebagian sudah jadi miliknya. Ya, hanya sebagian. Karena sebagian besar lagi, adalah milik dan atas nama Snow White, anak tirinya.

Rowena menghela nafas berat. Semenjak Snow menyaksikan kejahatannya, Rowena tak bisa melepaskan Snow. Ia pikir setelah kematian Carl, semua akan beres. Tapi nyatanya tidak. Ia baru tahu, harta Carl tak seluruhnya jatuh di tangannya, karena sebagian besar telah dialihkan Carl pada Snow, sang anak. Sementara untuk melenyapkan Snow begitu saja adalah hal yang mustahil. Ia mengetahuinya dari pengacara keluarga itu. Pertama, harta keluarga Carl akan disumbangkan jika Snow meninggal sebelum 16 tahun. Harta itu akan diserahkan pada negara karena Carl meyakini bahwa hartanya harus berguna bagi orang lain jika ternyata Snow dalam keadaan tak bisa mewarisi harta tersebut. Kedua, Snow baru benar-benar mengambil alih harta itu pada usia 16 tahun. Yang artinya, Rowena memang harus menunggu hingga gadis itu 16 tahun, yang tinggal tiga bulan lagi. Dan yang ketiga, alasan yang sebenarnya tidak penting, namun Rowena tak ingin membunuh dua anggota keluarga dalam waktu yang berdekatan berturut-turut. Dua mayat dalam satu rumah, dalam waktu yang cukup dekat. Terlalu mencurigakan. Tentu akan terlalu menyedot perhatian polisi. Ia tak mau berurusan dengan hukum, dan kematian Carl kembali diusut.

“Menurutmu aku akan jadi wanita yang paling kaya, yang paling berkuasa, Dante?”

“Ya, Nyonya, tentu bisa. Asalkan…Snow White sudah tak ada.” Dante menjawab.

Rowena mendengus. Meski ia selalu menanyakan hal itu, Dante tak pernah mengganti jawabannya. “Anak itu mungkin saat ini menjadi yang terkaya. Tapi nanti, setelah dia genap 16 tahun, aku tinggal memaksanya menyerahkan kekayaannya padaku, dengan cara apapun. Dan aku, dengan semua kekayaan ini, bisa memiliki semua, semua, yang aku mau.” Rowena terkikik geli dengan rencananya sendiri. Ia sangat tak sabar menantikan menjadi wanita terkaya dan berkuasa.

Dante kembali mengangguk sabar. Sementara mereka tak menyadari sosok lelaki muda yang sedang mendengarkan pembicaraan mereka dari balik dinding.

*

Semenjak Snow dikurung Rowena, Nathan selalu mencoba mencari alasan untuk masuk ke rumah Snow White. Namun Nathan sendiri hanya pekerja di perkebunan keluarga White. Ia tak punya banyak alasan untuk masuk ke rumah itu, kecuali jika ia adalah pelayan atau sejenisnya. Pemuda itu tak pernah bisa menemui Snow secara langsung. Pasalnya gadis itu dikurung di kamar khusus lantai tiga rumah itu. Dan ia dijaga ketat. Tak ada yang boleh mendekatinya kecuali Rowena, Dante, dan orang-orang kepercayaan Rowena.

Ia hanya bisa memantau kabar Snow White dari selentingan yang ia dengar dari sekitar rumah, atau, menguping pembicaraan orang-orang sekitar.

Malam itu, Nathan gelisah. Yang ia dengar dari mulut Rowena membuatnya tak mampu memejamkan mata.

Snow White hanya punya waktu tiga bulan, pikir Nathan gelisah sambil membolak-balik badannya di tempat tidur. Usianya akan genap 16 dan harta ayahnya resmi menjadi miliknya. Setelah itu, Rowena bisa melakukan apa saja terhadap gadis itu. Karena warisan itu akan langsung teralihkan ke Rowena jika Snow tak lagi ada.

Aku harus segera menyelamatkan White. Atau aku akan menyesal, Nathan membatin.

Nathan tiba-tiba teringat pada undangan makan malam yang akan diselenggarakan di rumah White, dua minggu mendatang.

Kemudian sebuah keberanian mendadak muncul. Ia akan menculik Snow White hari itu.

*

Nathan mengendap-ngendap di sekitar rumah keluarga White. Sinar bulan sabit tampak temaram, namun cukup untuk memberi Nathan seberkas cahaya membantu penglihatannya meski tanpa senter. Lelaki itu komat-kamit berdoa. Ia menurunkan topeng kain hitam miliknya, menutupi wajah sekaligus iddentitasnya. Ia gugup. Nathan langsung merasakan hentakan adrenalin di tubuhnya. Sejauh ini ia bisa melewati rumah keluarga White hingga ke bagian dalam. Penjagaan lebih longgar dari yang ia duga sebelumnya. Sebuah stun gun ia pegang dengan kencang. Ia tak pernah benar-benar menggunakan benda ini, apalagi untuk melumpuhkan seseorang. Namun, ia memerlukan segala sumber daya yang ia miliki kini.

Nathan mengintip di balik sudut dinding. Tak ada siapa-siapa. Ia lega karena penjagaan di sekitar gedung barat, tempat Snow White terkurung, tampak lengang. Makan malam yang berlangsung di aula ruang tengah rumah itu sepertinya membuat penjaga dan pelayan fokus pada pesta kecil itu. Begitulah orang kaya, mereka punya jadwal untuk saling mengunjungi, bermabuk-mabukan, main judi, dan bersenang-senang hingga pagi. Meski begitu, Nathan tetap merasakan jantungnya berdebar begitu keras.

“Hei! Kamu siapa?” Sosok lelaki berambut gondrong berkumis tebal tiba-tiba memergoki Nathan. Nathan terkejut, dan refleks mengayunkan tangannya yang memegang stun gun ke leher pria itu tanpa aba-aba apapun. Pria itu kaget, dan seketika pingsan.

Takjub dengan yang ia lakukan, Nathan maju melangkahi tubuh sang penjaga dan dengan lebih berani menuju ruangan Snow.

Sial, pikir Nathan. Seorang penjaga lagi. Berkepala botak, kali ini dengan pistol terselip di pinggang. Tepat di depan kamar Snow.

Nathan mengendap sepelan mungkin di belakang orang itu. Ia berusaha tak membuat suara sehalus apapun. Namun pria itu tajam perasaannya. Ia segera membalikkan badan dan mendapati sosok Nathan yang sudah siap mengacungkan stun gun. Pria itu segera mengayunkan kepalan tinjunya ke wajah Nathan. Namun untunglah Nathan lebih gesit. Wajah Nathan hampir kena. Pemuda itu segera memanfaatkan momen tersebut sebelum pria jahat itu merogoh pistolnya. Dan, stun gun langsung didaratkan oleh Nathan. Setelah si pria terkapar, tanpa membuang waktu, Nathan segera memasuki kamar Snow.

“Si, siapa?” tanya Snow ketakutan saat sesosok pria bertopeng kain hitam mendobrak masuk ke kamarnya. Nathan dengan segera melepas penyamarannya.

“Nate…Itu kamu?!” tanya Snow. Meski Nathan beranjak dewasa, namun Snow masih bisa mengenali perawakan sahabatnya itu. Snow segera memeluk Nathan erat. “Aku selalu yakin, kamu pasti akan datang, Nathan…” Air mata Snow tumpah di bahu Nathan, membuat lelaki itu salah tingkah.

“Ayo, White, kita harus keluar dari sini.” Nathan menggenggam tangan gadis itu.

“Lewat mana?”

“Yang tercepat. Jendela.”

Snow mengangkat sebelah alisnya, sementara Nathan mengeluarkan tali panjang dengan pengaitnya dari tas yang dibawanya. “Aku sudah mempersiapkan diri, White. Tak mungkin kita lompat begitu saja dan mati konyol di bawah sana.”

Nathan mengikatkan tali di pinggang Snow dan juga di tubuhnya, kemudian membopong Snow untuk menuruni dinding rumah itu pelan-pelan. Saat hampir sampai di bawah, Nathan mendengar suara berisik dari dalam kamar Snow. Dan tiba-tiba, kepala pria yang tadi dilumpuhkan Nathan muncul di jendela. Ia memandang marah Snow dan Nathan yang sudah sampai di bawah dengan selamat. Dengan segera ia menembak membabi buta ke arah kedua remaja itu. Snow dan Nathan segera berlari menghindar.

“Sial!” ujar Nathan. Nathan berhenti berlari, lalu ia memegang kakinya yang terasa perih. Timah panah mengenai kakinya. Ia mengangkat tangannya yang bersimbah darah.

“Kamu tak apa-apa?” tanya Snow cemas.

“Jangan khawatir, ini hanya tergores.” Nathan menjawab. “Sudahlah, pergilah ke arah hutan! Cepat!”

“Kamu bagaimana?”

“Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”

“Tapi…”

“Cepat!” Nathan berujar sambil mendorong Snow.

Tanpa berhitung, Snow segera melarikan diri, memasuki hutan yang gelap pekat.

Di saat yang bersamaan, Nathan bisa melihat dua orang anak buah Rowena dari kejauhan, sedang mengejar mereka berdua. Terpincang-pincang, Nathan melarikan diri ke arahyang berkebalikan dengan Snow. Ia sengaja berlari lebih lambat agar kedua orang itu mengejarnya. Namun saat Nathan menolehkan kepala ke belakang, ternyata yang mengejarnya hanya seorang. Kemana yang seorang lagi?

Nathan menggigit bibir bawahnya, meski terluka, ia yakin bisa lolos dari lelaki itu. Ia masih memegang stun gun. Tapi Snow White?

*

Nafas Snow tersengal. Kakinya terasa lemah. Ia terkurung dalam ruangan yang sama dalam waktu lama. Ia tak banyak berlari, berolahraga, atau melakukan berbagai aktivitas yang seharusnya dilakukannya jika ia bebas. Pelarian ini cukup berat baginya. Snow tersungkur. Ia tak tahan lagi berlari. Samar sinar rembulan menerangi hutan. Snow memandang sekeliling. Ia tak tahu arah, dan tak tahu apakah ia berlari cukup jauh atau tidak.

Kesunyian hutan yang mencekam kecuali nafasnya sendiri membuat Snow bisa mendengar derap dedaunan yang terinjak di dekatnya. Saat itulah, Snow menyadari, bahwa ia diikuti sedari tadi. Dan benar, sosok pria botak dan tinggi besar maju perlahan sambil tersenyum buas penuh kemenangan.

Mata Snow memejam, ia akan tertangkap. Ia pasrah sepenuhnya pada nasib.

Dan di saat itulah, tiba-tiba suara ambruk yang malahan terdengar. Snow membuka mata, dan di sanalah ia melihat si botak tersungkur di tanah, serta sesosok manusia yang bertubuh mungil, memegang batang pohon yang cukup besar.

*

“Dasar bodoh! Tak becus! Tak tahu diuntung!!”

Pagi itu suara Rowena membahana di seluruh rumah. Kemarahannya ia tumpahkan melalui suara-suara bernada tinggi yang memekak di telinga siapapun yang mendengarnya.

“Kenapa kalian berdua baru memberitahuku baru ini? Hah? Kenapa tidak dari semalam?!” Rowena memandang tajam pada dua anak buahnya yang mengejar Snow White namun gagal.

Si botak langsung menjawab,”Maaf, Nyonya. Kami sudah berusaha memberitahu Nyonya, tapi semalam, Nyonya mabuk berat bersama tamu-tamu lain, jadi kami…”

Suara ‘Prang!’ tiba-tiba terdengar. Semua yang di ruangan terkejut. Rowena baru saja melempar gelas yang dipegangnya ke arah si botak, tepat mengenai dahinya. Pria itu sendiri tampak terkejut dengan peristiwa itu. Ia memegang dahinya yang berdarah, terkena pecahan gelas. Atmosfer ruangan seketika makin mendingin.

Bodoh, Rowena tak suka dibantah, apalagi disalahkan seperti itu. Kenapa tidak minta maaf dan mengakui kalau itu kesalahanmu sendiri? ujar Dante dalam hati. Dante memang mengenal perilaku majikannya itu. Rowena bisa lebih kejam dari itu, kalau dia mau.

“Keluar! Keluar kalian semua!” Rowena berteriak geram, mengusir semua orang di ruangan. “Dante, kamu tinggal di sini. Aku ingin bicara.”

“Dante, menurutmu bagaimana?” tanya Rowena sambil menghempaskan diri ke sofa panjangnya setelah ruangan itu hanya terisi mereka berdua. Kepalanya terasa sakit, mengingat semua rencananya berantakan.

“Nyonya ingin menghabisi Snow White dan keluarga Logan?” ungkap Dante tanpa basa-basi lagi. Dante sudah memperkirakan White ditolong oleh keluarga Logan, dari informasi anak buah yang diserang itu. Ia mengaku samar-samar melihat ‘sekelompok orang-orang bertubuh kecil’ sebelum benar-benar pingsan. Hanya keluarga Logan lah, yang mengasingkan diri ke hutan karena tak tahan akibat perlakuan diskriminatif masyarakat akibat tubuh kurcaci mereka.

“Snow White belum berumur enam belas, Dante. Membunuhnya sekarang sama saja sia-sia.”

“Lebih baik Nyonya menyusun rencana, menghabisi Snow di waktu yang tepat dan tak mencurigakan, sehingga Nyonya terlihat tak bersalah. Mungkin kita bisa gunakan cara yang serupa seperti waktu Nyonya membunuh Carl White.”

“Maksudmu…”

“Ya. Racun.”

Rowena mengelus dagunya. Berpikir.

“Kamu selidiki keluarga Logan, hingga ke hal terkecil mereka. Apa kebiasaan mereka. Pekerjaan mereka. Bahkan apa yang mereka lakukan dari hari ke harinya. Dari informasi itu, kita susun ulang rencana untuk membunuh Snow White tanpa harus mengotori tanganku secara langsung.”

Dante mengangguk.

“Ingat, Dante. Hati-hati. Kita hanya punya waktu beberapa minggu lagi, sebelum Snow berusia 16 tahun.”

“Ya, Nyonya.” Dante pun meninggalkan Rowena yang sedang berpikir sendirian.

*

“Kalian selalu membeli sebanyak ini?” Snow bertanya pada Jean Logan saat melihat tumpukan kebutuhan sehari-hari yang baru saja mereka beli. Nathan juga tampak di sana, membantu keluarga Logan berbelanja dan mengangkat barang. Semenjak menemukan Snow White selamat bersama keluarga Logan, Nathan jadi sering ke hutan, untuk menjenguk gadis itu dan membantu keluarga Logan sebisanya sebagai balas budi terhadap kebaikan mereka.

“Ya, kami biasa membeli barang kebutuhan beberapa hari sekali ke pasar kota. Supaya kami tak terlalu lelah harus bolak-balik ke kota terlalu sering. Kamu tahu sendiri kan, di hutan ini tak ada toko atau kios. Kami tinggal memesan di toko langganan kami, dan kami tinggal menggotongnya saja ke hutan.”

“Kalian yang memesan apel ini?” tanya Snow dengan mata terbelalak saat melihat beberapa butir apel terbungkus rapi dalam keranjang.

“Eh, entahlah. Kami tidak memesannya. Mungkin pemilik toko salah memasukkan,” ucap Jean.

“Ini…apel dari kebun ayah. Cara mengemas ini, dan juga stiker ini, ini semua milik kami.”

“Benarkah?”

Snow White mengangguk. Ia sama sekali tak ingin memakan apel-apel itu. Ia teringat Rowena, pemilik dan pewaris harta sang ayah. Ia merasa harus waspada terhadap setiap kemungkinan.

Tiba-tiba Jean membuka plastik yang membungkusnya, dan langsung menggigit sebuah. “Ini lezat.” Ia berkata.

“Kau, tidak apa-apa?” tanya Snow White takut-takut.

“Ini hanya apel, White, tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Dan anehnya, tiap kali berbelanja, apel dari perkebunan White itu selalu ada, meski keluarga Logan tak pernah merasa memesan apel.

Kiriman kedua, kiriman ketiga, hingga kiriman keempat, Snow masih belum mau memakannya. Hingga datang belanjaan mereka di kali kelima, dan keluarga Logan baik-baik saja memakan apel-apel itu, barulah Snow berani memakannya.

Di kiriman yang keenam, saat Snow White sudah percaya bahwa apel-apel itu tak ada hubungannya dengan Rowena, tanpa ragu, White memakan apel itu terlebih dahulu. Kewaspadaannya pudar.

Dan ia, langsung terkapar jatuh ke lantai.

Sementara keluarga Logan dan Nathan mengerubungi Snow White yang tiba-tiba jatuh, sosok berkepala botak, anak buahRowena yang beberapa minggu ini ditugaskan mengintai rumah keluarga Logan, segera menyusup dan berlari meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia ingin segera mengabarkan pada Rowena, akhirnya misi mereka berhasil. Mungkin bukan kabar yang diinginkan Rowena sepenuhnya, karena yang diinginkan Rowena adalah kematian Snow White,  seluruh keluarga Logan dan Nathan. Tapi, kematian Snow White saja, pasti sudah menerbitkan rasa senang majikannya.

*

Nathan merasa ia pasti berhalusinasi. Ia baru saja hendak membaringkan kembali tubuh gadis itu, saat tiba-tiba ia mendengar suara dari mulut Snow.

Snow terbatuk.

Ternyata benar, mulut gadis itu sedikit bergerak, seakan tersedak. Nathan mencoba membuka mulut Snow dan saat itulah potongan kecil apel beracun yang dimakannya keluar dan jatuh ke lantai. Mungkin karena Nathan menggerakkan tubuh Snow, apel beracun yang tersangkut di mulut gadis itu meluncur keluar, menyelamatkan Snow White dari salah prasangka akibat kelumpuhan yang disebabkan racun itu.

*

“Untunglah kamu tak menelannya, White. Seandainya kamu menelannya, tak mungkin kamu bisa hidup.” Jean Logan berkata, sambil meletakkan baki berisi minuman ke atas meja.

Mereka merayakan kembalinya Snow White dengan makan bersama. Pondok itu kini tampak lebih ceria lagi, menyambut Snow White yang hidup kembali. Meja makan terasa penuh sesak oleh tujuh orang keluarga Logan, Nathan, dan Snow White, serta berbagai macam hidangan yang melengkapi kebahagiaan mereka.

“Sekarang apa rencanamu?” tanya William.

“Semenjak terkurung di rumah, aku selalu memikirkan cara bagaimana membalas ibu tiriku.” Snow menjawab. Ya, karena hanya terkurung di kamar, ia menghabiskan waktu dengan memikirkan berbagai macam cara, dari yang sangat kejam hingga biasa-biasa saja. Tapi Snow sudah punya rencana terbaik.

“Dengan meracuninya juga?” tanya salah satu anak Logan.

“Tentu tidak, Smith. Aku akan memakai cara yang lebih…manusiawi. Aku akan melaporkan perbuatannya dan membuat ia dipenjara cukup lama untuk menyesali perbuatannya selama ini.” Snow White berucap dingin.

“Setuju. Kurasa itu lebih bijaksana, dear.” William berkata sambil menyentuh lembut lengan Snow White. “Kadang kita sulit untuk memutuskan tindakan yang benar karena dibutakan amarah dan dendam. Tapi aku bangga kamu tidak melakukan itu.”

Snow White mengangguk. Ia juga ingin segera mengakhiri perseteruan dengan ibu tirinya. Ia hanya ingin hidup tenang, dan bahagia, bersama sosok yang ia cintai. Nathan.

*

Nathan dan Snow duduk di padang rumput, persis seperti saat terakhir mereka melakukannya 6 tahun lalu. Namun kali ini mereka memandang ke arah matahari yang terbenam perlahan di ufuk barat, dengan tangan saling menggenggam. Waktu itu, belum ada kehadiran Rowena di antara kehidupan mereka, dan saat ini pun sama. Rowena, Dante, dan anak buahnya sudah meninggalkan rumah keluarga White, siap mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di balik jeruji besi. Ladang gandum di depan mereka tampak menguning keemasan memantulkan cahaya senja. Angin yang sesekali bertiup kencang membuat ladang gandum itu seperti lautan berombak yang berwarna emas.

“Kamu tidak takut menghadapi pengadilan nanti?”

Snow White menggeleng. “Aku sudah lama terkurung dalam ketakutan selama 6 tahun ini. Sudah saatnya aku melawan Rowena. Aku akan bersaksi mengenai kejahatannya selama ini. Semenjak kematian ayahku, hingga yang dilakukannya padaku. Ditambah dengan bukti-bukti dari otopsi mayat ayah, juga percobaan pembunuhan yang dilakukannya padaku, ia pasti takkan lolos dari hukuman berat.”

“Kamu yakin akan menang?” tanya Nathan lagi.

Snow mengangguk penuh keyakinan. Ia tampak lebih optimis sekarang. “Karena aku yakin, kebenaran pasti akan menang.”

Nathan tersenyum. Ia lega, melihat gadis itu tak lagi terkurung dalam kegelapan, dan kini menikmati benar cahaya kebebasannya. ”Aku juga yakin, Snow.” Ia tak pernah lagi memanggil gadis itu White, semenjak ia melingkarkan cincin tunangan di jari manisnya. Nathan mengecup lembut dahi Snow dan melingkarkan tangannya di pundak kekasihnya itu.